adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalankan pemerintahan demokrasi
. Melanjukan Contoh Soal UAS PKN Kelas XI Semester 1 K13 Beserta Jawaban bagian pertama soal nomor 1-10, soal-soal penilaian akhir semester satu pendidikan Pancasila dan Kewargaan kelas 11 semester satu kurikulum 2013 bagian kedua dimulai dari soal nomor 11. 11. Sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia sekarang ini, yaitu demokrasi …. a. terpimpin b. Orde Baru c. Orde Lama d. otoriter e. Pancasila Jawaban e. Pancasila Pembahasan Adapun penerapan demokrasi di Indonesia tetap mengacu pada pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Oleh karena itu, penerapan demokrasi di Indonesia disebut sebagai demokrasi pancasila untuk yang sekarang ini diterapkan. 12. Terciptanya sebuah keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia menunjukan prinsip demokrasi Pancasila, yaitu …. a. kemakmuran b. berkeadilan sosial c. otonomi daerah d. pengadilan yang merdeka e. pemisahan kekuasaan Jawaban b. berkeadilan sosial Pembahasan Demokrasi yang berkeadilan sosial artinya, demokrasi menurut Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan keadilan sosial di antara berbagai kelompok, golongan, dan lapisan masyarakat. 13. Adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalan pemerintahan demokrasi menunjukkan salah satu pilar demokrasi Pancasila, yaitu …. a. Berketuhanan Yang Maha Esa b. demokrasi dengan kecerdasan c. demokrasi yang berkedaulatan rakyat d. demokrasi dengan rule of law e. demokrasi dengan pemisahan kekuasaan negara Jawaban b. demokrasi dengan kecerdasan Pembahasan Demokrasi dengan kecerdasan artinya, mengatur dan menyelenggarakan demokrasi menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot, atau kekuatan massa semata-mata pelaksanaan demokrasi itu justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasan aqliyah, kecerdasan rasional, dan kecerdasan emosional. 14. Karakteristik utama yang menggambarkan demokrasi Pancasila terdapat dalam Pancasila sila ke …. a. 1 b. 2 c. 3 d. 4 e. 5 Jawaban d. 4 Pembahasan Karakter utama demokrasi Pancasila adalah sila ke empat, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Dengan kata lain, demokrasi pancasila mengandung tiga karakter utama, yaitu kerakyatan, permusyawaratan, dan hikmat kebijaksanaan. Tiga karakter tersebut sekaligus berkedudukan sebagai cita-cita luhur penerapan demokrasi di Indonesia. 15. Berikut tidak termasuk nilai moral yang terkandung dalam sila keempat Pancasila sebagai gambaran pemerintahan demokrasi, yaitu …. a. persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia b. keseimbangan antara hak dan kewajiban c. mewujudkan rasa keadilan sosial d. kebebasan dapat dipertanggungjawabkan cukup kepada diri sendiri e. mewujudkan rasa keadilan sosial Jawaban d. kebebasan dapat dipertanggungjawabkan cukup kepada diri sendiri Pembahasan Demokrasi pancasila mengandung beberapa nilai moral yang bersumber pada Pancasila, yaitu sebagai berikut. 1. Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia 2. Keseimbangan antara hak dan kewajiban 3. pelaksanaan kebebasan yang dipertanggungjawaban secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri dan orang lain. 4. mewujudkan rasa keadilan sosial 5. pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat 16. Demokrasi pada masa revolusi terjadi pada tahun …. a. 1945-1950 b. 1950-1959 c. 1959-1965 d. 1966-1975 e. 1976-1995 Jawaban a. 1945-1950 Pembahasan Demokrasi pada masa revolusi terjadi pada tahun 1945-1950. Pada masa revolusi, bangsa Indonesia masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari belanda. Pada saat itu, demokrasi belum dpat terlaksana dengan baik di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, di Indonesia masih terjadi sentralisasi kekuasaan. 17. Pembentukan partai politik pada masa revolusi diatur dalam …. a. Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tanggal 16 Oktober 1945 b. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 c. Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 d. Penpres Nomor 2 Tahun 1959 e. pasal UUD 1945 Jawaban b. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 Pembahasan Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut, maka pemerintah Indonesia mengelurkan maklumat, salah satu nya yaitu Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik. 18. berikut yang tidak termasuk isi Dekrit Presiden 5 juli 1959, yaitu …. a. menetapkan pembubaran konstituante b. pembubaran seluruh partai politik c. menetapkan UUD 1945 berlaku kembali d. menetapkan tidak berlakunya UUDS 1950 e. pembentukan MPRS dan DPAS Jawaban b. pembubaran seluruh partai politik Pembahasan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi mengenai hal-hal berikut 1. menetapkan pembubaran konstituante 2. menetapkan UUD 1945 berlaku kembali dan tidak berlakunya UUDS 1950, serta 3. pembentukan MPRS dan DPAS. 19. Kekuasaan tersentralisasi di tangan presiden dan secara signifikan diimbangi peran PKI dan Angkatan Darat merupakan salah satu penyimpangan demokrasi pada masa …. a. Orde Lama b. Orde Baru c. reformasi d. sekarang e. revolusi Jawaban a. Orde Lama Pembahasan Pada masa orde lama terjadi demokrasi terpimpin. Dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin, banyak terjadi penyimpanan terhadap UUD 1945 penyimpangan-penyimpangan tersebut seperti kekuasaan tersentralisasi di tangan presiden dan secarasignifikan diimbangi peran PKI dan Angkatan Darat serta prosedur pembentukan DPR-GR dan MPRS tidak melalui pemilihan umum. 20. Kebijakan pemerintahan Orde Baru menekankan pada kepentingan …. a. wakil rakyat b. rakyat c. stabilitas nasional d. wawasan nusantara e. kebijakan otonom daerah Jawaban c. stabilitas nasional Pembahasan Kebijakan yang dijalankan selama pemerintahan Orde Baru sangat menekankan pada stabilitas nasional. Akan tetapi orde baru kurang dalam menegakkan demokrasi. Akibatnya pemerintahan orde baru cenderung menuju pemerintahan yang sentralistik berpusat kepada penguasa. Lanjut ke soal nomor 21-30 => Contoh Soal UAS PKN Kelas XI Semester 1 K13 Beserta Jawaban ~ Part-3 Thanks for reading Contoh Soal UAS PKN Kelas XI Semester 1 K13 Beserta Jawaban ~ Part-2
Pertanyaan Lain Ujian NasionalUjian Nasional, 0050, iyin21Darimana asal cerita bawang merah dan bawang putihJawaban 1Latar belakang berdirinya gerakan non blok gnb adalah …. a terjadinya perang dingin antara blok barat dengan blok timur b terjadinya perang terbuka antara nato dan pakta warsawa c terjadinya sengketa antara negara maju dengan negara berkembang d terbentuknya persekutuan militer di berbagai kawasan e meletusnya perang dunia ii yang membawa bencana kemanusiaanJawaban 1Ujian Nasional, 0059, aldalena30Penghasil jeruk besar di dunia adalah negaraJawaban 1Ujian Nasional, 1720, zakyzahra32Segala sesuatu yang di anggap sebagai suatu keharusan untuk di laksanakan oleh individu sebagi warga negara guna mendapatkan hak yg pantas di dpat di sebutJawaban 1 Apakah Anda tahu jawaban yang benar? Adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalankan pemerintahan demokrasi menunjukkan salah sat... Sent PertanyaanSosiologi, 1013Akuntansi, 1013B. Arab, 1013Ekonomi, 1013Bahasa lain, 1013Penjaskes, 1013Bahasa lain, 1013 random questions
- Tahukah kalian apa saja pilar demokrasi Indonesia? Jangan sampai keliru, simak penjelasannya berikut ini. Indonesia sebagai negara demokrasi terdiri atas pilar-pilar demokrasi Indonesia. Penjelasan mengenai demokrasi sendiri tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI. Menurut KBBI, demokrasi ialah bentuk pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakukan yang sama bagi semua warga negara. Dalam sebuah demokrasi terdapat Pilar Demokrasi atau trias politika yang dibagi menjadi legislative, eksekutif, dan yudikatif. Pilar Demokrasi Indonesia disebut juga dengan prinsip Demokrasi Pancasila. Baca Juga Demokrasi di Indonesia Terancam! Alat Sadap Pegasus Buatan Israel Diduga Masuk ke Tanah Air Melalui Pihak Ketiga Menurut buku Ahmad Sanusi yang berjudul “Memberdayakan Masyarakat dalam Pelaksanaan 10 Pilar Demokrasi 2006”, mengemukakan 10 Pilar Demokrasi Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945. Berikut adalah 10 Pilar Demokrasi Indonesia beserta penjelasannya. 1. Demokrasi Ketuhanan Yang Maha Esa Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yakni seluk beluk sistem perilaku dalam menyelenggarakan NKRI harus taat dengan asas, konsisten, atau nilai dan kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Demokrasi dengan Kecerdasan Demokrasi dengan kecerdasan yakni mengatur dan menyelenggarakan demokrasi sesuai dengan UUD 1945 yang semata-mata bukan karena kekuatan naluri, kekuatan otot atau kekuatan massa semata-mata. Demokrasi lebih menuntut kecerdasan rohaniah, aqliyah, raisonal, dan emosional. Baca Juga Mengenal Pegasus, Alat Sadap dari Israel yang Mengancam Demokrasi di Indonesia 3. Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat
Mahasiswa/Alumni Universitas Terbuka13 Agustus 2022 0254Jawaban yang benar adalah B. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut pemerintahan yang demokrasi. Paham demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia adalah demokrasi Pancasila, karena Pancasila merupakan dasar negara dan pedoman hidup bangsa Indonesia. Ada beberapa prinsip yang dimiliki oleh demokrasi Pancasila ini, salah satunya adalah demokrasi dengan kecerdasan. Adapun maksudnya adalah dalam menjalankan kehidupan yang demokratis di Indonesia, adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalan pemerintahan demokrasi sangat diperlukan. Jadi, jawaban yang benar adalah B.
› Opini›Kecerdasan Berdemokrasi Ada sesuatu yang berbeda mengenai isu politik mutakhir, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, menyangkut cara masyarakat bangsa ini meresponsnya. Terpilihnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto ternyata tidak memproduksi meme sebanyak adegan ”tiang listrik” ala politisi tertentu ataupun foto-foto gubernur Jakarta memberi excuse teologis mengenai problem banjir di Jakarta. Lagi-lagi, atas motivasi politis murahan tapi begitu laris, nama istri yang ”tidak Indonesia” yang dipakai sebagai isu jualan utama. Selebihnya hanyalah spekulasi mengenai probabilitas kekuatan petahana dalam tahun politik nanti yang semakin menipis gara-gara semakin banyaknya ”pembelot”. Dua hal bisa dianalisis dari hal ini. Pertama, peran negara dalam menjamin hak setiap warga sekaligus mengaturnya sedemikian rupa sehingga demokrasi tak berarti ”apa-apa boleh” dan ”sekenanya bisa”. Ketegasan negara melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk registrasi ulang nomor-nomor telepon seluler pribadi dalam tingkat apa pun telah membangun suatu psikologi kepatuhan tertentu dalam diri masyarakat. Sebagai contoh, berita yang tersebar mengenai walk-out-nya seorang pianis di tengah sambutan kepala daerah hanya berhenti pada bentuk media sosial khusus, tidak lagi melalui Whatsapp WA. Setelah rangkaian pesan melalui WA berpindah dari satu telepon ke telepon lain, tiba-tiba ada isi pesan yang memperingatkan dengan keras tentang kebenaran info tersebut disertai ancaman pemrosesan secara hukum menyangkut pencemaran nama baik. Tidak pernah diketahui siapa yang mengirim pesan mengenai ancaman tentang penyebaran info melalui WA tersebut. Tetapi, senyatanya telah terbentuk ”ketakutan tertentu” di tingkat akar rumput untuk tidak meneruskan isi pesan tersebut dan hanya terbatas perbincangan atau guyonan sembari minum kopi. Akibatnya, wawancara pada pianis tersebut di kemudian minggu tidak lagi semenarik berita beberapa jam persis setelah acara tersebut berlangsung. Level tegangan suspense sudah terlebih dahulu menurun dan lama-lama generik Kedua, dan paling utama, adalah cara masyarakat ”membaca” politik dengan kacamata awam. Setelah Trio Macan diperkarakan dalam pengadilan karena telah menyebarkan berita dengan tingkat akurasi tinggi, awam nyaris tak punya sumber informasi lagi mengenai pergerakan ataupun manuver politik para elite. Bukan berarti kaum awam tak dapat mengakses berita paling sahih ataupun paling aktual. Kaum awam tetaplah awam yang memiliki kemampuan analitis tersendiri dalam berpolitik. Yang aneh bukan pertama-tama media sosial yang bagai tsunami membanjiri masyarakat dengan info-info politik terkini. Namun, de facto makin transparannya perebutan kekuasaan yang dilakukan secara brutal dan vulgar, itulah yang membuat masyarakat awam dapat membaca dengan jelas mengenai perpolitikan di negeri ini. Bahwa meritokrasi baru berjalan 2-3 langkah dengan terseok-seok tetapi langsung dibabat habis oleh kekuatan birokratif lama, itulah hal pertama yang dibaca oleh masyarakat awam. Pematahan secara sistematis melalui penggalangan kekuatan politik yang lebih tersistem telah bersifat abortif atas benih demokrasi yang asli. Bahwa politik berisi tikung-menikung dan tikam-menikam antarkubu, itulah yang dibaca oleh kaum awam yang mengkristalkan ujaran klasik betapa tak ada musuh atau kawan abadi dalam politik dan yang ada hanyalah kepentingan abadi. Ibaratnya, sistem meritokrasi saat ini semakin kehilangan orang- orang kuat yang menopang setelah poros-poros tertentu telah digerogoti oleh kekuatan-kekuatan ”musuh dalam selimut”. Persis seperti dalil Nietzsche, kekuasaan selalu bersifat merusak. Kehendak untuk berkuasa demi kekuasaan itu sendiri senantiasa korup. Bahwa ada atmosfer tertentu di setiap benak warga kalau bangsa ini benar-benar membutuhkan figur pemimpin demi masa depan dan bukan demi masa lalu, itulah yang pelan-pelan menjadi sekadar utopia karena telah dihantam oleh kekuatan-kekuatan spartan yang bersekutu dari pelbagai penjuru. Ibaratnya, Indonesia tidak butuh santo. Orang sebaik apa pun tidak akan menjadi pemimpin yang bisa diterima jika tidak ikut berkotor-kotor dalam sistem. Selain itu, Indonesia juga tak butuh ”Rambo”. Sistem sudah demikian mengakar kuat jadi labirin yang begitu rumit dan ruwet. Satu hal yang tetap adalah soal cara cerdas masyarakat dalam berdemokrasi. Memang peran massal dari kaum awam seolah nyaris tidak menunjuk sebagai variabel aktif dalam kehidupan demokrasi. Namun, masyarakat tetaplah masyarakat yang memiliki insting politik tertentu yang sering kali tidak dihiraukan oleh para penguasa politik. Sekali tidak dianggap sebagai partisipan aktif dan hanya dianggap sebagai massa anonim, para elite politik yang berburu kekuasaan sungguh akan menerima nasib mereka ditinggalkan oleh akar rumput. Dan, kekuatan akar rumput ini tidak pernah bisa dibeli dengan uang. Sangat mungkin ancaman yang bersifat harian dan secara kolektif akan membuat masyarakat akar rumput ini patuh pada kekuasaan. Tetapi, cara berpolitik masyarakat awam ini telah sedemikian bertumbuh secara kualitatif. Persis seperti jungkat-jungkit di satu sisi, kubu tertentu begitu menggebu dalam mengejar kekuasaan. Kubu lain berisi masyarakat akar rumput yang lebih sumeleh karena mengendus aroma syahwat kekuasaan yang tak Penampakan rebutan kekuasaan yang banal dan ugal-ugalan tidak pernah dapat merebut hati masyarakat akar rumput. Behaviorisme demokrasi selalu saja bohong. Ibarat gunung es, tampilan-tampilan periferal demokrasi memendam 90 persen bawah-sadar kultur politik yang substansinya adalah dekonstruksi total. Bagian terbesar dalam demokrasi inilah yang merupakan kecerdasan masyarakat akar rumput. Lubang hitam demokrasi Indonesia tidak terletak pada ”kebodohan masyarakat” ataupun keterbelakangan awam yang bersifat massal. Namun, problem tunggal yang abadi dalam sejarah demokrasi kita selalu saja mengenai rebutan kekuasaan, yang ujung-ujungnya bersifat ”fulusofis” daripada filosofis. Macetnya demokrasi senantiasa terletak pada ”fulusofi” baca fulus, uang! kekuasaan, bukan filosofi kekuasaan. Fulusofi kekuasaan lebih mengandalkan ”otot” daripada ”otak”. Fulusofi kekuasaan paralel lebih mengutamakan ”okol” kekuatan fisik daripada ”akal” kekuatan nilai. Istilah dalam bahasa Jawa, asu gedhe menang kerahe. Anjing besar menang rebutan. Sayangnya, masyarakat akar rumput tak lagi berada pada level berdemokrasi untuk cari makan, tetapi sudah naik tingkat pada level nilai. Berapa banyak masyarakat akar rumput yang mau menerima uang dari penguasa tetapi tetap keukeuh pada pilihan politik yang lebih menjamin nilai? Berapa banyak masyarakat yang justru nyinyir melihat elite politik menggebu-gebu dalam pencitraan, tetapi sebetulnya hanyalah periferal dan artifisial?Tulus Sudarto Rohaniwan, Bekerja di Paroki St Theresia Sedayu, Yogyakarta
ArticlePDF Available AbstractStudi yang disajikan dalam makalah ini menganalisis perubahan yang menjadikan organisasi siap untuk menghadapi permasalahan yang kompleks, penelitian ini bertujuan untuk menyusun kebijakan yang akan dilakukan dengan menyeimbangkan kepentingan organisasi tanpa meninggalkan sumberdaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, hasil penelitian menunjukan pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 78 Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Kepemimpinan yang Efektif di Era Milenial Revolusi The Importance of Emotional Intelligence for Millennium Leadership in the Era of Revolution Suryana Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Provinsi Jawa Barat Naskah Diterima Tanggal 14 Maret 2019—Direvisi Akhir Tanggal 10 Maret 2019—Disetujui Tanggal 28 Maret 2019 Abstract The study presented in this paper analyzes changes that make organizations ready to discuss complex ones, this research will develop policies that will be carried out by balancing the interests of the organization without the need to find resources. The research method used is a qualitative method, research shows that leaders are indispensable in the era of globalization. Characteristics of leaders who can realize the vision into a challenge have a long-term perspective, can develop subordinates, innovative, creative, have transition intelligence and related characteristics is something that determines the success of leaders to be able to compete in the era of globalization. Keywords Leadership, Emotional Intelligence, Revolution Abstrak Studi yang disajikan dalam makalah ini menganalisis perubahan yang menjadikan organisasi siap untuk menghadapi permasalahan yang kompleks, penelitian ini bertujuan untuk menyusun kebijakan yang akan dilakukan dengan menyeimbangkan kepentingan organisasi tanpa meninggalkan sumberdaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, hasil penelitian menunjukan pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi. Kata kunci Kepemimpinan, Kecerdasan Emosional, Revolusi industri 1. Pendahuluan Sumber daya manusia merupakan topik yang menarik untuk dikaji dan diteliti, karena Telah terjadi pergeseran kepemimpinan di bandingkan era tahun 1980-an dan 1990-an yang akan berdampak pada pergeseran di bidang ekonomi global, kompetisi, dan kebutuhan akan sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemimpin harus multitalenta dalam mengendalikan kegiatannya agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik. Email ingatsuryana Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 79 Era globalisasi tentu saja membawa banyak perubahan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Sisi positifnya adalah pada saat sekarang ini informasi/pengetahuan mudah diperoleh meskipun juga mengalami masa yang cepat, sedangkan sisi yang lain adalah bahwa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks dan sekaligus tidak pasti. Perubahan yang demikian drastis seringkali menjadikan organisasi menghadapi permasalahan yang semakin kompleks dan tidak hanya menyangkut masalah finansial, namun seringkali juga sumber daya manusia. Perubahan yang demikian tidak hanya menuntut seorang manajer yang mempunyai kepandaian intelektual yang tinggi, namun mampu menghitung seberapa banyak alokasi dana, berapa perkiraan keuntungan yang harus diperolehnya, dan perhitungan perkembangan perusahaan secara angka saja. Justru pada saat dinamika perusahaan naik turun, diperlukan seseorang yang mampu menyeimbangkan kepentingan organisasi dengan tanpa meninggalkan sumber daya, khususnya sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya, atau dengan kata lain dibutuhkan suatu kepemimpinan yang tepat. Menurut Tanaka 1998 kepemimpinan memang menempati posisi sentral dalam manajemen. Tugas seorang pemimpin memang berkaitan dengan kegiatan manajemen dan kepemimpinan. Melakukan kegiatan manajemen berarti mengerjakan segalanya secara benar, dan melakukan kegiatan kepemimpinan berarti mengerjakan hal-hal yang benar. Seorang pemimpin dituntut untuk dapat memenuhi kedua persyaratan di atas secara menyeluruh. Seringkali para pemimpin menemui dilema dalam pengambilan keputusan karena hal benar yang dibenarkan secara manajemen dalam kesempatan yang lain, artinya dimensi waktu bisa menegatifkan pengambilan keputusan sebelumnya Gunawan Samsu, 2009. Untuk lebih mengantisipasi hal tersebut, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang visioner dan efektif. Pemimpin visioner berarti seorang pemimpin yang dalam bertindak, berpikir memandang jauh ke depan. Ia menetapkan tujuan perusahaan dalam visi dan misi, ia menetapkan kebijakan dengan melihat baik buruknya alternatif dan resiko atau akibat yang akan terjadi, sudah dipertimbangkan baik-baik. Setiap persoalan dipandang secara bijak diambil hikmahnya, jika baik diambil, jika buruk kemudian diperbaiki agar tetap mengarah dan fokus ke masa depan Agustian Ary Ginajar 2008 seorang visioner adalah mereka yang memiliki tujuan jangka panjang. Mereka bekerja bukan untuk sesuatu yang bersifat fisik dan sementara, namun untuk kepentingan orang banyak. Menurut Gunawan Samsu 2008. ”Seorang visioner punya kearifan untuk bersinergi dengan visioner lainnya, dengan semangat saling memperkuat seperti layaknya ikatan sapu lidi. Seorang visoner juga harus punya kesabaran untuk merangkai tiap batang sapu lidi untuk menjadi ikatan yang kuat. Hal ini berarti bahwa seorang visioner haruslah seorang yang peduli dan empati dengan orang lain khususnya anak buah atau anggota-anggotanya”. Sedangkan pemimpin efektif adalah seorang pemimpin yang mampu memimpin dengan segala ucapan, perbuatan dan sikap atau perilaku hidup yang mendorong dan mengantarkan bawahan pada tujuan yang hendak dicapai. Riyadiningsih dan Ratna 2007 menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif akan sangat berpengaruh terhadap kinerja bawahan dalam suatu organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa bawahan akan memiliki kinerja tinggi jika kepemimpinannya efektif. Kinerja bawahan tinggi dengan sendirinya akan berimbas pada kinerja organisasi yang tinggi pula. Di era globalisasi ini kecerdasan emosi memainkan peranan yang penting dalam semua bidang kehidupan dan semua bidang pekerjaan. Sejak munculnya buku Emotional Intelligence Why It Can Matter More Than IQ Goleman, 1995, kecerdasan emosi makin popular dir ujuk sebag ai faktor penting dalam menjelaskan keberhasilan di tempat kerja. Goleman berargumen dalam bukunya itu bahwa kecerdasan emosi mampu Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 80 menjelaskan 80% dari kesuksesan kerja, hanya 20% sisanya dijelaskan oleh faktor lain seperti kecerdasan intelektual. Majalah Time edisi 2 Oktober 1995 menulis di cover-nya, “It's not your IQ. It's even not a number. But emotional intelligence may be the best predictor of success in life, redefining what it means to be smart lihat juga Mayer, Salovey, Caruso, & Cherkasskiy, 2011.” Banyak bukti penelitian mengungkap bahwa keberhasilan seseorang dalam kehidupan tidak lagi mendasarkan pada aspek kognitif yaitu berupa inteligensi IQ, tetapi aspek afektif yaitu kecerdasan emosi EQ yaitu kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, motivasi tinggi, bersikap kreatif, memiliki empati, bersikap toleransi dan sebagainya yang merupakan karakteristik yang jauh lebih penting dari sekedar inteligensi. 2. Metodologi Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, tujuan penggunaan metode ini untuk memahami dan meneliti fenomena secara holistik tentang karakteristik kepemimpinan yang efektif dan kecerdasan emosional. Disamping itu, dilaksanakan pula metode penelitian kepustakaan yaitu dengan mempelajari dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan, data dan dokumen yang berkaitan karakteristik kepemimpinan yang efektif dan kecerdasan emosional, untuk memperoleh dan menggali informasi yang lebih dalam dan akurat, sehingga dapat melengkapi penelitian ini. 3. Tinjauan Pustaka A. Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif Ada beberapa karakteristik dari kepemimpinan yang efektif yang dikemukan oleh berbagai tokoh antara lain 1. Gordon 1991 kepemimpinan yang efektif meliputi 1 pemimpin harus mengenal dan mengetahui kebutuhan bawahan, 2 pemimpin harus meningkatkan pemberian hadiah kepada bawahannya yang berprestasi, 3 pemimpin harus dapat memfasilitasi jalan untuk mendapatkan hadiah dengan memberi pengarahan dan bimbingan, 4 pemimpin seharusnya membantu bawahan mengklarifikasi harapannya dengan memberi contoh usaha yang mengarah pada kinerja yang tinggi, 5 pemimpin harus mengurangi hambatan-hambatan yang membuat frustrasi bawahan dalam memperoleh hadiah dan hasil, dan 6 pemimpin harus meningkatkan kesempatan untuk kepuasan pribadi yang merupakan hasil dari kinerja yang efektif. 2. Bennis yang dikutip Bliss 1999 mengemukakan bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki karakteristik 1 inovatif, 2 fokus pada orang, 3 membangun kepercayaan, 4 memiliki perspektif jangka panjang, 5 menanyakan apa dan mengapa, 6 memiliki pandangan yang luas dan melebar, 7 memiliki orisinalitas, dan 8 suka tantangan. 3. Hogan dkk 1994 dan Robinson 2000 mengemukakan 5 karakteristik khusus dari kepemimpinan yang efektif, yaitu 1kecerdasan mental mental agility, pemimpin memiliki minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala hal, memiliki rasa ingin tahu tentang orang lain dan motivasi yang mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru, suka membaca dan suka akan tantangan. 2 stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki nilai yang tinggi pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat percaya diri, penerimaan diri self acepting, keseimbangan balanced, tahan terhadap stress, toleran terhadap ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel dan efektif dalam menangani konflik dan umpan balik negatif, 3 surgency, yaitu pemimpin selalu bersifat terbuka, asertif, dan memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan, 4 conscientiousness, yaitu pemimpin memiliki sifat hati-hati dan sabar, motivasi yang tinggi Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 81 untuk berprestasi, tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki etos kerja, memiliki kemampuan mengorganisasi, dan 5 agreeableness yaitu pemimpin dapat kooperatif, dapat berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat dipercaya. 4. Bliss 1999 semua pemimpin memiliki karakteristik sifat-sifat yang umum yaitu 1 mengarah pada visi dan tujuan, 2 memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan kemauannya kepada orang lain, 3 memiliki integritas meliputi pengetahuan diri self knowledge yaitu tahu akan kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri, terus terang candor, dan kematangan maturity yang merupakan hasil belajar yang telah dijalani. 5. Steers 1985 menyoroti rintangan-rintangan dalam keefektifan kepemimpinan, yaitu 1 ketrampilan dan sifat dari pemimpin dapat menjadi kendala dalam menjadi pemimpin yang efektif. Misal, penelitian tentang kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif memiliki karakteristik pribadi tertentu. Kekurangan dari ketrampilan tersebut dapat menghalangi perilaku pemimpin yang efektif, 2 ketidakmampuan pemimpin dalam membuat berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang tepat, 3 pada tingkat tertentu, pemimpin harus mengontrol sistim pemberian hadiah seperti menaikkan gaji, promosi dan lain-lain, 4 karakteristik dari situasi kerja juga dapat menyebabkan ketidakefektifan kepemimpinan. 6. Klemm 1999 menyoroti ciri-ciri pemimpin kreatif yang berkorelasi positif dengan kepemimpinan yang efektif. Menurut Klemm ada 5 ciri-ciri pemimpin yang kreatif meliputi 1 memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi, 2 dapat menerima informasi dengan baik well informed, 3 memiliki pemikiran yang asli original thinkers, 4 menjawab pertanyaan dengan benar ask the right questions, dan 5 disiapkan untuk menjadi kreatif prepared to be creative. 7. Dunning 2000 mengemukakan 4 kompetensi yang menentukan keberhasilan pemimpin yang baru di era milenium, yaitu 1 harus memahami dan mempraktekkan pentingnya suatu penghargaan terhadap kemampuan, sehingga pemimpin dituntut memiliki kemampuan, 2 senantiasa mengingatkan bahwa pentingnya mengembangkan bawahannya, 3 senantiasa memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan 4menjalin keakraban dengan rekan sekerja. 8. Kane 1998 menyoroti aspek-aspek yang paling relevan untuk dimiliki pemimpin pada era melinium yaitu 1 kompetensi dasar core competencies seperti inteligensi, integritas integrity dan perhatian caring, 2 ketrampilan/pengetahuan skills/knowledge, membangun tim team building, mengorganisir bawahan people management, keterlibatan pada aktivitas di masyarakat community involvement, dapat mengelola konflik secara produktif productive use of conflict dan kecerdasan emosi emotional intelligence, 3 sikap terhadap keberhasian kepemimpinan attitudes for successful leadership, yaitu memiliki komitmen comitment, perbaikan yang terus menerus continuous improvement Yoenanto, Herry 2002. B. Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan membagi dalam tiga bidang kecerdasan yaitu 1 kecerdasan abstrak, seperti kemampuan memahami dan memanipulasi simbol verbal dan matematika, 2 kecerdasan kongkrit, yaitu kemampuan memahami dan memanipulasi objek, dan 3 kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan dengan orang lain Goleman, 1995. Kecerdasan sosial menurut Thorndike yang dikutip Goleman 1995 adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan, meliputi kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 82 Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk mengelola diri sendiri, sedangkan kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami orang lain. Kemudian, konsep kecerdasan emosi berkembang menjadi istilah emosi yang dikemukakan oleh Mayer dan Salovey pada tahun 1993 Davies,1998; Kierstead, 1999; Caruso, 2000; Simmons, 2001 dan Goleman, 2000 dengan memberikan definisi emosi yang merupakan kompilasi dari 4 macam ketrampilan, yaitu 1 mengidentifikasi emosi identifying emotions, yaitu kemampuan mengenali dan merasakan perasaannya, 2 menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran using emotion to facilitate thought, yaitu kemampuan mengekspresikan emosi dan kemudian memberi alasan dengan emosinya, 3 memahami emosi understanding emotions, yaitu kemampuan emosi secara kompleks dan rangkaian emosi serta bagaimana emosi berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya, dan 4 mengelola emosi managing emotions, yaitu kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain. Dewasa ini, pengertian kecerdasan emosi berkembang tidak hanya sekedar 4 ketrampilan, tetapi lebih luas. Menurut Goleman yang dikutip Bliss 1999, kecerdasan emosi didefinisikan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen dan integritas dari seseorang, dan kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya. Atau dengan kata lain Goleman 2000 memberi pengertian kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam buku yang terbaru bekerja dengan kecerdasan emosi dalam konteks dunia kerja, Goleman yang dikutip oleh Blisss, 1999; Simon 2001 membagi 2 wilayah dari kerangka kecerdasan emosi, yaitu 1 kompetensi pribadi personal competency, yaitu bagaimana mengatur diri sendiri yang terdiri dari a kesadaran diri self awareness, yaitu kemampuan untuk mengenal perasaan dirinya sendiri, b kemampuan mengatur diri sendiri self regulation/ self management yaitu kemampuan mengatur perasaannya dan c motivasi motivating yaitu kecenderungan yang memfasilitasi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan walaupun mengalami kegagalan dan kesulitan. 2 kompetensi sosial social competence, yaitu kemampuan mengatur hubungan dengan orang lain, yang terdiri dari a empati, yaitu kesadaran untuk memberikan perasaan/perhatian, kebutuhan dan kepedulian kepada orang lain, dan b memelihara hubungan sosial, yaitu mengatur emosi dengan orang lain, ketrampilan sosial seperti kepemimpinan, kerja tim, kerjasama dan negosiasi. C. Revolusi Industri Seiring dengan dunia yang memasuki revolusi industri maka pemanfaatan robot dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence AI dalam proses produksi manufaktur akan semakin lazim. Perubahan ke arah automasi tersebut bisa mendatangkan berbagai dampak kepada para pekerja industri. Seperti dilansir Selasa 24/4/2018, Kementerian Tenaga Kerja Kemenaker menyatakan bahwa akan ada jenis pekerjaan yang hilang seiring berkembangnya revolusi industri Direktur Jenderal Dirjen Pembinaan, Pelatihan, dan Produktivitas Kemenaker Bambang Satrio Lelono menyampaikan, sebanyak 57 persen pekerjaan yang ada saat ini akan tergerus oleh robot. Namun, masih menurut artikel tersebut, di balik hilangnya beberapa pekerjaan akan muncul juga beberapa pekerjaan baru. Bahkan, jumlahnya diprediksi sebanyak pekerjaan. Bambang mengatakan, yang harus dilakukan sekarang adalah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Untuk itu, generasi milenial yang lahir pada medio 1980-1999 harus mulai mengasah soft skill mereka. Hal itu, karena masa depan manufaktur Indonesia berada di tangan mereka. Selain Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 83 pendidikan di dalam lingkungan keluarga, tempat lain untuk mengasah soft skill yang dibutuhkan di dunia kerja adalah lembaga pendidikan. Beberapa lembaga pendidikan pun, terutama perguruan tinggi, sudah menyadari pentingnya pendidikan soft skill untuk para mahasiswanya. Perguruan tinggi saat ini tak hanya membekali anak didiknya dengan ilmu pengetahuan dan hard skill, tetapi juga mulai melakukan pengembangan soft skill. Salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan pengembangan soft, begitu juga dengan lembaga pendidikan dan latihan aparatur tentunya sudah harus merubah arah kebijakan diklatnya dengan perkembangan jaman Revolusi industri secara umum diketahui sebagai perubahan cara kerja yang menitikberatkan pada pengelolaan data, sistem kerja industri melalui kemajuan teknologi, komunikasi dan peningkatan efisiensi kerja yang berkaitan dengan interaksi manusia. Lembaga Diklat tidak hanya menghasilkan kuantitas lulusan tetapi kualitas lulusannya. Kesuksesan sebuah negara dalam menghadapi revolusi industri erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga lembaga Diklat Aparatur wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan di era globalisasi. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi dan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan penyesuaian sarana dan prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi. Lembaga diklat yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang terampil dalam aspek literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. Terobosan inovasi akan berujung pada peningkatan produktivitas kerja dan melahirkan kualitas pelayanan. Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan yang responsif terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti desain ulang kurikulum dengan pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan, “Sistem perkuliahan berbasis teknologi informasi nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi yang berkualitas.” Persiapan dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan Revolusi Industri adalah salah satu cara yang dapat dilakukan Lembaga Diklat untuk meningkatkan kualitas pelyanan kepada masyarakat. Berbagai tantangan sudah hadir di depan mata, sudah siap kah Perguruan Tinggi dan Lembaga Diklat menyiapkan generasi penerus bangsa di era Revolusi Industri dan persaingan global? 4. Pembahasan A. Pemimpin Efektif dan Transformasional Ukuran yang paling banyak digunakan untuk mengukur efektivitas pemimpin adalah seberapa jauh unit organisasi pemimpin tersebut berhasil menunaikan tugas pencapaian sasarannya Yukl, 2006. Contoh ukuran kinerja yang obyektif mengenai pencapaian kinerja atau sasaran adalah keuntungan, margin keuntungan, peningkatan penjualan, pangsa pasar, penjualan dibanding target penjualan, pengembalian atas investasi, produktivitas, biaya per unit keluaran, biaya yang berkaitan dengan anggaran pengeluaran dan seterusnya. Sedangkan ukuran subyektifnya adalah tingkat efektivitas yang dihasilkan oleh pemimpin tertinggi, para pekerja atau bawahan sikap para pengikut terhadap pemimpin merupakan indikator umum lainnya dari pemimpin yang efektif Yukl, 2006. Seberapa baik pemimpin tersebut memenuhi kebutuhan dan harapan pengikutnya? Apakah para pengikut menyukai, menghormati dan mengagumi pemimpinnya? Apakah pengikut benar-benar mau mengerjakan keinginan pemimpinnya? Indikator berikutnya adalah berdasar kontribusi pemimpin pada kualitas proses kelompok yang dirasakan oleh para pengikut. Apakah pemimpin mampu meningkatkan kohesivitas anggota kelompok, kerjasama anggota, Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 84 motivasi anggota, penyelesaian masalah, pengambilan keputusan dan mendamaikan konflik antaranggota? Apakah pemimpin berkontribusi terhadap efisiensi pembagian peran, pengorganisasian aktivitas, pengakumulasian sumber-sumber dan kesiapan kelompok untuk menghadapi perubahan atau krisis? Apakah pemimpin dapat memperbaiki kualitas kehidupan kerja, membangun rasa percaya diri pengikutnya, meningkatkan ketrampilan mereka dan berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologis para pengikutnya. Dalam kebanyakan konteks organisasi, kepemimpinan transformasional dianggap sebagai gaya kepemimpinan yang lebih efektif dibandingkan dengan transaksional dan secara konsisten ditemukan meningkatkan kinerja organisasi yang lebih besar Lowe dan Kroeck, 1996. Kepemimpinan transformasional secara tradisional didefinisikan sebagai perwujudan komponen-komponen karisma, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual Avolio et al., 1999. Dimensi karisma terkait dengan pemimpin yang menanamkan kebanggaan, iman, dan rasa hormat pada bawahan dan yang menetapkan visi dan misi untuk sebuah tim melalui keterampilan komunikasi yang baik. Stimulasi Intelektual ciri seorang pemimpin yang meningkatkan kecerdasan, rasionalitas, kehati-hatian dalam pemecahan masalah, dan yang mendorong bawahan untuk melakukan inovatif dalam menyelesaikan suatu masalah. Seorang pemimpin yang memberikan perhatian pribadi kepada bawahan, memperlakukan setiap karyawan sebagai seorang individu, dan mengambil minat dalam jangka panjang pengembangan kepribadian setiap karyawan merupakan komponen kepemimpinan transformasional Kepemimpinan Transformasional Sivanathan, Niroshaan dan F, 2002 adalah kemampuan pemimpin untuk memotivasi pengikutnya untuk mencapai melebihi apa yang mulanya dianggap mungkin. Bass 1985 mengusulkan empat faktor karakteristik kepemimpinan transformasional yang sering disebut sebagai ”Four I’s 1 . Pengaruh ideal/Idealized Influence yakni pengikut mengidealkan dan meniru perilaku pemimpin terpercaya mereka; 2 Inspirasional motivasi/Inspirational Motivation yaitu pengikut termotivasi oleh pencapaian tujuan yang sama; 3. Stimulasi intelektual/Intellectual Stimulation yakni pengikut didorong untuk melepaskan diri dari cara berpikir lama dan didorong untuk mempertanyakan nilai-nilai, keyakinan dan harapan mereka; dan 4. Pertimbangan individual/Individualized Consideartion yaitu kebutuhan pengikut yang ditujukan baik secara individu dan tujuan keadilan Bass dan Avolio, 1997. Kepemimpinan transformasional secara konsisten menunjukkan efek menguntungkan pada berbagai hasil individu dan organisasi Bass, 1998. Sebagai contoh, Barling et al. 1996 menemukan bahwa komitmen organisasi bawahan berkorelasi positif dengan perilaku kepemimpinan transformasional supervisor mereka. Kelloway dan Barling 1993 juga telah menunjukkan prediksi kuat kesetiaan seseorang kepada organisasinya, sejauh mana dipraktikkan kepemimpinan transformasi. Selain itu, hubungan yang positif juga telah ditemukan antara kepemimpinan transformasional dan motivasi bawahan Masi dan Cooke, 2000. Beberapa penelitian yang lain menunjukkan bukti-bahwa kepemimpinan transformasional secara positif berhubungan dengan kinerja bisnis intinya Barling et al.,1996; Howell dan Avolio, 1993. Menurut Bass 1998 kepemimpinan transformasi adalah berhubungan secara positif dengan efektivitas pemimpin. Karena hasil organisasi positif berhubungan dengan kepemimpinan transformasi, para peneliti mengeksplorasi faktor-faktor yang memprediksi perilaku kepemimpinan transformasional Rost, 1991. Faktor yang banyak dinyatakan adalah kecerdasan emosional Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 85 Sosik dan Megerian, 1999; Barling et al.,2000 Avolio mengemukakan bahwa para pemimpin yang efektif adalah orang-orang yang mempunyai gaya kepemimpinan transformasional daripada gaya kepemimpinan transaksional 1995. Kepemimpinan Transformasional lebih berdasarkan emosi dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional dan melibatkan tingkat emosional tinggi Yammarino dan Dubinsky, 1994. B. Kompetensi Kecerdasan Emosional Emotional Quotient Kompetensi didefinisikan sebagai kapabilitas atau kemampuan Boyatzis,2008 dan kompetensi Kecerdasan Emosional EQ merujuk pada kemampuan seseorang untuk menyadari perasaan sendiri, sadar akan perasaan orang lain, membedakan diantara keduanya, dan menggunakan informasi untuk membimbing seseorang berpikir dan berperilaku. Definisi ini terdiri dari tiga kategori kemampuan evaluasi dan ekspresi emosi, regulasi emosi dan menggunakan emosi dalam pengambilan keputusan. Goleman Polychroniou, PV, 2009 memberikan definisi yang sama "kemampuan untuk mengatur perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri kita sendiri, dan untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri kita sendiri dan dalam berhubungan orang lain "Bar-On Stein, SJ. Et al, 2009 menyatakan bahwa orang dengan tingkat emosional lebih tinggi memiliki kemampuan untuk menangani situasi yang menekan tanpa kehilangan kontrol dan dapat mempertahankan ketenangannya ketika berhubungan dengan orang lain bahkan ketika intens mengalami emosi. Sosik dan Megerian Stein, SJ. Et al, 2009 menyatakan bahwa orang yang cerdas secara emosional merasa lebih aman dalam kemampuan mereka untuk mengontrol dan pengaruh peristiwa kehidupan dan, sebagai hasilnya, individu memberikan fokus pada orang lain serta merangsang intelektual dan memotivasi pengikutnya. Stein dan Book 2000 berpendapat bahwa para pemimpin dengan kecerdasan emosional yang lebih besar akan menjadi pemimpin yang efektif. Barling dari suatu studi menemukan bahwa para manajer di pabrik yang kecerdasan emosionalnya ditingkatkan diperhatikan dan dijaga menunjukkan pengaruh yang lebih besar pada faktor pengaruh ideal, inspirasional motivasi dan pertimbangan individual Barling, et al., 2000. Menurut Goleman 2000 kecerdasan emosi berperan dua kali lipat bahkan lebih dalam menentukan kesuksesan seseorang di tempat kerja. Bahkan jika dikombinasikan dengan kecerdasan spiritual ESQ mampu menjadi benteng dalam pelaksanaan tanggungjawab atas pekerjaaannya Hidayat, Riskin, 2008 Kepedulian dan sikap berempati terhadap bawahan atau pengikutnya merupakan salah satu indikator adanya kecerdasan emosional pada orang tersebut. Semenjak ditemukannya konsep EQ Kecerdasan Emosi oleh Daniel Goleman, peduli dan empati menjadi sesuatu yang teramat penting. Masyarakat barat yang cenderung individualis seakan tersadarkan akan pentingnya nilai-nilai yang selama ini dianggap kurang penting terhadap kesuksesan seseorang. Peduli berarti mampu untuk memahami kebutuhan orang lain, merasakan persaannya serta menempatkan diri dalam posisi orang lain. Seseorang yang memiliki kepedulian tinggi adalah orang yang peka, yang bukan saja perhatian pada dirinya sendiri self-centered, melainkan juga tertuju kepada orang lain extra centered sensitivity sehingga mudah merasa iba pada orang lain. Kepedulian membuat orang melihat keluar dari dirinya dan menyelami perasaan dan kebutuhan orang lain, lalu menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan untuk orang-orang disekelilingnya ESQ Nebula, 2009. Ada dua jenis cara pandang, pertama melalui cermin dan kedua melalui kaca jendela. Seseorang yang self centered memandang hanya melalui kaca cermin sehingga yang ia lihat hanya dirinya sendiri. Sedangkan seorang extracetered memandang melalui kaca jendela, yang dilihat bukanlah dirinya sendiri. melainkan orang lain dan kebutuhannya. Orang Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 86 yang perhatiannya tertuju kepada orang lain akan bersikap 1 Lebih sadar akan kepentingan dan kebutuhan orang lain; 2 Perhatiannya terhadap kepentingan diri sendiri berkurang; 3 Bertambah kesadarannya bahwa setiap orang memiliki keunikan sendiri-sendiri; 4 Bertambah keinginan untuk memberikan bantuan dan pertolongan bagi orang lain; 5Berkurangnya rasa kesedihan, karena melihat bahwa orang lain banyak yang kurang beruntung. Empati yang secara umum dikenal sebagai kebijakan universal, sangat berkaitan dengan kebajikan lainnya seperti cinta, toleransi, kebaikan, kepedulian, penerimaan dan lain-lain. Daniel Goleman menganggap empati sebagai komponen besar dalam kecerdasan emosi sebab empati memungkinkan seseorang memahami dan memprediksi emosi dan kebutuhan orang lain. Pengetahuan tersebut dapat membantu kita untuk mempengaruhi orang lain. Empati dapat menjadi kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan dengan orang lain Connecting with. Menurut Daniel Goleman ESQ Nebula, 2009, meningkatkan empati dapat melalui beberapa cara yaitu 1 Understanding Other, yaitu cepat menangkap isi perasaan dan pikiran orang lain; 2 Service Orientation, yaitu memberikan pelayanan yang dibutuhkan orang lain, bukan mengambil apalagi memanipulasi; 3 Developing Others yaitu memberikan masukan-masukan positip atau membangun orang lain; 4 Leveraging Others yaitu mengambil manfaat dari perbedaan, bukan menciptakan konflik dari perbedaan, da n 5Political Awareness yaitu memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis dalam hubungannya dengan orang lain. Sikap peduli dan empati dapat meningkatkan emosi positif, dimana emosi positif akan mendorong orang untuk bereaksi positif juga. Dengan demikian jika pemimpin menginginkan ada respon yang baik dan motivasi untuk bekerja menjadi lebih baik adalah dengan menumbuhkan sikap peduli dan empati. Selain kepedulian dan empati, ada beberapa dimensi keterampilan yang lain yang ada dalam kecerdasan emosional. Dimensi ketrampilan tersebut meliputi Intrapersonal sebagai indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri, Interpersonal digunakan untuk mengukur Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal, Manajemen Stress digunakan untuk Manajemen dan Pengendalian Emosi, Adaptation digunakan sebagai indikator kemampuan untuk Mengelola Perubahan, dan General Mood digunakan sebagai indikator Motivasi diri. Pengukuran dimensi ketrampilan dan indicator kecerdasan emosional dapat dilakukan dengan menggunakan Emosional Quotient Inventory EQ-i. Menurut Bar-On Stein, SJ. Et al, 2009 model EQ-i melibatkan daftar kemampuan dan ketrampilan pribadi, emosional, dan sosial. Skor yang lebih tinggi pada hasil EQ-i ini mengimplikasikan ketrampilan Emotional Intelligence yang kuat dan lebih positif memprediksikan sebagai efektif dalam memenuhi tuntutan dan tantangan. Sebaliknya, skor EQ-i yang lebih rendah menunjukkan keterampilan EI yang buruk dan mengurangi kemampuan untuk menjadi efektif dalam memenuhi tuntutan dan tantangan . Keandalan dari EQ-i telah diselidiki oleh sejumlah peneliti seperti Matthews, Newsome, Petrides dan Furnham Stein, SJ. Et al, 2009 dengan konsensus temuan mengungkapkan bahwa ins t rument ini dapat diandalkan, konsisten, dan stabil. Bar-On melaporkan bahwa Reliabilitas konsistensi internal EQ-i secara keseluruhan adalah 0,76 dan Keandalan tes-tes ulang 0,85 setelah satu bulan dan 0,75 setelah empat bulan Stein, SJ. Et al, 2009. Slaski dan Cartwright Stein, SJ. Et al, 2009 menemukan bahwa hasil metode pengukuran EQ-i secara signifikan berkorelasi dengan semangat 0,55, stres 0,41, kesehatan umum 0,50, dan peringkat kinerja Supervisor dalam penelitian mereka terhadap manajer retail. Studi lain pada manajer Inggris, Slaski dan Cartwright menemukan bahwa pelatihan dalam kecerdasan emosional menghasilkan peningkatan skor EQ-i dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 87 Tabel I. Karakteristik Ketrampilan dan Arah Pengukuran Kecerdasan emotional Emotional Intelligence Sumber Stein, SJ. et al, 2009 dalam Nurtantiono, Andri 2012 C. Alat Ukur Kecerdasan Emosi Hingga saat ini banyak alat ukur yang mengungkap kecerdasan emosi. Pada kajian ini penulis hanya menguraikan alat ukur yang pernah dikembangkan oleh beberapa peneliti, yaitu 1 MSCEIT Mayer, Salovey, Caruso emotional intelligence test yang dikembangkan oleh Dr. Jack Mayer, Dr. Peter Salovey dan Dr. David Caruso yang terdiri dari 4 ketrampilan yaitu mengidentifikasi emosi, menggunakan emosi, memahami emosi Karakteristik Ketrampilan Intrapersonal 1. Anggapan Diri Self Regard 2. Kesadaran Emosi Diri Emotional Self Awareness 3. Ketegasan Assertiveness 4. Kemandirian independence 5. Aktualisasi diri Self Actualization Kesadaran-diri dan ekspresi diri 1. Kemampuan Memahami, mengerti dan menerima diri sendiri 2. Kemampuan mengetahui dan memahami emosi seseorang 3. Kemampuan mengekspresikan emosi seseorang dan diri sendiri 4. Menjadi mandiri dan bebas dari ketergantungan emosional pada orang lain 5. Berusaha untuk mencapai tujuan pribadi dan mengaktualisasikan potensi seseorang Interpersonal 1. Empati Empaty 2. Tanggung jawab sosial Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal 1. Kemampuan mengetahui dan memahami bagaimana orang lain merasa Social Responsibility 3. Hubungan interpersonal yang saling memuaskan Interpersonal Relationship 2. Kemampuan mengidentifikasi dengan salah satu kelompok sosial dan bekerjasama dengan orang lain 3. Kemampuan membangun hubungan dan berhubungan baik dengan yang lain Stress Management 1. Toleransi Stres Stress Tolerance 2. Pengendalian Rangsangan Impulse Control Manajemen dan Pengendalian Emosi mengelola emosi emosi Adaptability 1. Uji Realitas Reality Testing 2. Fleksibilitas Flexibility 3. Pemecahan Masalah Problem Solving Mengelola Perubahan seseorang untuk merasakan dan berpikir obyektif dengan kenyataan eksternal beradaptasi dan menyesuaikan perasaan seseorang dan berpikir untuk situasi baru memecahkan masalah secara efektif memecahkan masalah alamiah personal dan interpersonal General Mood 1. Optimis Optimism 2. Kebahagiaan Happiness Motivasi Diri positif dan melihat sisi terang kehidupan puas dengan diri sendiri dan kehidupan pada umumnya Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 88 dan mengelola emosi. Tes ini lebih mengarah kepada mengukur kemampuan kecerdasan emosi ability measure. 2 Baron EQ-I Baron Emotional Quotient-Intelligence. Tes ini diciptakan oleh Baron. Aspek-aspek yang diukur antara lain a ketrampilan intrapersonal seperti kesadaran diri, asertif, aktualisasi diri dan kemandirian, b ketrampilan interpersonal seperti empati, hubungan interpersonal, dan tanggungjawab sosial, cmengelola stress seperti pemecahan masalah, tes realitas dan fleksibilitas, dan d kemampuan beradaptasi adaptability seperti toleransi terhadap stress, mengontrol ini mengarah pada bentuk self report. 3 EQ Map Emotional Quotient Map. Tes ini dikembangkan oleh Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf 2001 yang melakukan penelitian pada manajer eksekutif dan profesional dari ratusan organisasi perusahaan. Aspek-aspek yang diukur antara lain a ketrampilan kecerdasan emosi seperti kesadaran diri emosi, kesadaran emosi terhadap orang lain dan ekspresi emosi, b kecakapan emosi seperti intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif, c nilai-nilai dan keyakinan seperti belas kasihan, sudut pandang, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi dan integritas. 4 ECI Emotional Competence Inventory. Tes ini mengukur aspek-aspek antara lain a kesadaran diri self awareness seperti kesadaran emosi diri, ketepatan mengases diri accurate self assesment dan kepercayaan diri self confidence b kesadaran sosial social awareness seperti empati, kesadaran organisasi dan berorentasi pada pelayanan, c manajemen diri self management, seperti penguasaan diri self control, sifat dapat dipercaya trustworthiness, kehati-hatian consentiousness, kemampuan beradaptasi adaptability, orientasi berprestasi achievement orientation, inisiatif initiative, d ketrampilan sosial seperti mengembangkan prang lain developing others, kepemimpinan, mempengaruhi, komunikasi, manajemen konflik conflict management, katalis perubahan change catalist, kerjasama tim teamwork dan menjalin hubungan dengan orang lain. D. Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pemimpin yang Efektif Kepemimpinan leadership diartikan sebagai kemampuan untuk memegaruhi suatu kelompok guna mencapai visi atau serangkaian tujuan yang sudah ditetapkan. Kepemimpinan adalah kebutuhan dasar umat manusia, tetapi tidak sembarang pemimpin dapat melakukannya. Tidak mudah mencari sosok pemimpin ideal. Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya penobatan, kudeta, pelantikan, pemilu dan perubahan rezim. Raja, perdana menteri, pangeran, presiden, sekretaris jendral dan diktator datang silih berganti. Sejarah membuktikan seorang penguasa biasanya akan mendapat respek dan dukungan rakyat jika ia memberi kadar kedamaian yang masuk akal dan kondisi hidup yang terjamin. Jika rakyat hilang percaya, orang lain mungkin akan segera mengantikan. Kondisi hidup yang buruk, kediktatoran dan keinginan akan perubahan biasanya menjadi pemicu pergantian. Penulis mencoba mengurai ciri-ciri pemimpin yang ideal untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin efektif. Karismatik, bila kita menengok sejarah para pemimpin yang kuat seperti Napoleon, Mao Tze Tung, Churchil, Margaret Thatcher, Ronald Reagen, Bung Karno, Gandhi, semuanya merupakan orang-orang yang sering kali disebut sebagai pemimpin karismatik. Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan karismatik, ilmuwan dan sosiolog Max Weber punya definisi sendiri. Lebih dari seabad lalu ia mengatakan karismatik sebagai sifat dari seseorang yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural. Artinya tidak dimiliki oleh orang biasa, karena merupakan kekuatan yang bersumber dari Ilahi. Telaah literatur menunjukan adanya empat Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 89 karakteristik sehubungan dengan pemimpin karismatik. Yaitu memiliki visi, bersedia mengambil risiko pribadi untuk mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan bawahan dan memiliki prilaku yang luar biasa. Indonesia pernah memiliki Bung karno yang masuk dalam kategori pemimpin karismatik. Memiliki visi memerdekakan Indonesia walau dengan risiko harus keluar masuk bui. Dia juga berani mengambil sikap demi mencapai visi. Penulis berpendapat kepemimpinan karismatik merupakan salah satu dari jenis kategori ideal. Tetapi untuk mencari sosok pemimpin yang benar-benar ideal, karismatik saja belumlah cukup. Perlu kecerdasan emosional yang membuat kepemimpinan seseorang menjadi lebih efektif. Kecerdasan emosi dewasa ini sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja. Yate 1997 yang dikutip Caruso 2000 membuat penelitian yang sangat menarik dengan mengungkap peranan kecerdasan emosi dalam karir dan tempat kerja dengan mengacu seberapa besar kecerdasan emosi sebagai syarat yang dibutuhkan untuk keberhasilan kerja. Berikut daftar pekerjaan yang membutuhkan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi dari tertinggi hingga ke terendah 1 dokter jiwa, 2 pekerja sosial, 3 spesialis merawat orang manula, 4 dokter medis keluarga, 5 ahli terapi fisik, 6 guru/kepala sekolah, 7 manajer sumber daya manusia, 8 perawat, 9 humas, 10 manajer pelatihan, 11 polisi, 12 dokter gigi, 13 wartawan, 15 pemasar, 16 editor, 17 agen asuransi, 18 ahli kacamata, 19 sekretaris, 20 agen perjalanan, 21 asisten medis, 22 pelayan, 23 insinyur piranti lunak, 24 ahli geofisik, 25 akunta, 26 insinyur listrik, 27 analis sistem, 28 teller, dan 29 ahli botani. Dari berbagai penelitian juga dibuktikan bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan bagi pemimpin yang efektif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Patricia Pitcher’s yang dikutip oleh Bliss 1999 menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi tinggi lebih berhasil dibandingkan dengan pemimpin yang tanpa kecerdasan emosi. Bennis yang dikutip Simmons 2001 juga mendukung peneliti sebelumnya dengan mengatakan bahwa kecerdasan emosi lebih berpengaruh dibandingkan dengan inteligensi IQ dalam menentukan pemimpin yang efektif. Penelitian yang dilakukan Cooper 1997 menyebutkan bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi lebih berhasil dalam karir pekerjaan, dapat membangun hubungan personal yang lebih baik, memimpin lebih efektif, dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Lebih lanjut Cooper menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa mempercayai dan dipercayai oleh orang lain, memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan yang darurat dan dapat melakukan kepemimpinan yang efektif. Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh hubungan personil dalam mempengaruhi orang lain. Hubungan personil dibangun menggunakan ketrampilan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi tidak hanya membedakan pemimpin yang menonjol dengan yang tidak, tetapi juga berkaitan dengan kinerja yang baik Goleman, 1998. Penelitian lain yang sejenis dilakukan Fieldman yang dikutip Simmon 2001, menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang baik secara langsung dapat mempengaruhi kinerja bawahannya dan produktivitas dalam segala hal. Cooper dan Sawaf 1998 dan 2001 yang menyoroti perbedaan kecerdasan emosi dari pemimpin dapat membuat faktor keberhasilan karir dan organisasi dalam hal 1 pengambilan keputusan, 2 kepemimpinan, 3 komunikasi secara jujur dan terbuka, 4 hubungan yang saling mempercayai dan kerjasama tim, dan 5 kepuasan pelanggan. Penelitian lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosi juga dilakukan oleh beberapa ahli. Seperti yang dilakukan oleh Simmon 2001 dengan mengaitkan antara jenis kelamin gender dengan kecerdasan emosi didapatkan kesimpulkan bahwa orang wanita rata-rata lebih baik kecerdasan emosi dalam hal kesadaran dirinya, empati dan ketrampilan sosialnya, Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 90 sementara orang pria rata rata lebih baik kecerdasan emosi dalam bidang kepercayaan diri, optimistik, dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan daya tahan terhadap stres. Sementara itu Baron menyelidiki pengaruh kecerdasan emosi dengan tingkat usia, diperoleh hasil ada pengaruh yang konsisten antara usia dengan kecerdasan emosi, yaitu nilai total kecerdasan emosi meningkat dengan pertambahan usia dan puncaknya pada akhir tahun ke-40 dan awal tahun ke-50. Penelitian ini menunjukkan bahwa kematangan emosi berasal dari usia dan pengalaman, dimana orang yang lebih tua dapat mengatasi tuntutan lingkungan dari orang yang lebih muda. Atau secara umum orang yang lebih tua memiliki beberapa kelebihan dibandingkan orang yang lebih muda yaitu 1 mandiri dalam cara berfikir dan bertindak, 2 sadar akan perasaan orang lain, 3 memiliki tanggung jawab sosial, 4 dapat beradaptasi, 5 dapat mengatasi masalah, dan 6 dapat mengatur tingkat stres. Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan yang efektif? Ini jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence adalah empati. Sejarawan Fred Greenstein mengadakan penelitian dan menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah satu unsur terpenting untuk meramalkan kebesaran seorang pemimpin. Jelas argumen dari sejarawan ini bisa dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat empati dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat yang dipimpinnya, maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung diktator. Di Amerika Serikat, cendrung memilih pemimpin presiden yang memiliki Emotional Intelligence tinggi dibanding pemimpin yang cerdas dalam berpolitik. Hal ini terlihat ketika George W Bush memenangkan Pemilu 2004, mengalahkan lawannya Jhon Kerry. Seorang komentator politik menjelaskan sikap mayoritas suara rakyat USA, “Rakyat menangkap bahwa Kerry memiliki Emotional Intelligence lebih rendah dari pada Bush. Walaupun Kerry memiliki kecerdasan politik yang lebih tinggi, tetapi Bush memiliki kecerdasan bangsa yang jauh lebih baik. Tercermin dari sikap Bush saat melakukan kampanye yang lebih memberi kesan secara emosional, berbicara dengan jelas, sederhana, penuh semangat dan Dia menang.“ Musuh utama dari kepemimpinan yang efektif adalah kekuasaan yang dapat merubah visi utama dari seorang pemimpin. Kekuasaan selama ini dianggap sebagai kata yang paling kotor. Mereka yang mencoba dan belum mendapatkan kekuasaan akan terus mengejar. Mereka yang pandai mendapatkan akan merahasiakan cara untuk memenangkannya. Kita mungkin sudah mendengar ungkapan power corroupts, absolute power corroupts absolutely kekuasaan itu korup dan kekuasaan penuh akan sepenuhnya korup. Para pemimpin akan menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok, dan kekuasaan adalah sarana untuk memudahkan usaha mereka. Kekuasaan terfokus bukan hanya pengaruh kepada pengikut atau bawahan, tapi melebarkan pengaruh ke samping atau dengan kata lain ingin menguasai secara menyeluruh. Padahal pemimpin memiliki keterbatasan sebagai pribadi-pribadi yang tidak sempurna. Pemimpin ideal harus memenuhi aspek-aspek kepribadian yang unggul. Berikut ini adalah ciri dari kepribadian seorang pemimpin yang ideal Pertama, Memiliki integritas, berprilaku jujur dan lurus sehingga dapat menantang musuh-musuhnya dihadapan umum. Tidak munafik, sehingga masyarakat akan tergerak untuk menjadi pendukungnya karismatik. Kedua, Peduli terhadap masyarakat, memberi dukungan moril, materil, penghiburan bagi orang-orang yang tertekan, mendengarkan dan empati emotional Intellgence. Ketiga, Mau bekerja, menyelesaikan semua tugas-tugas sebagai seorang pemimpin, tanggap ketika rakyatnya membutuhkan pertolongan, mau melayani masyarakat bukan hanya dilayani turun kebawah. Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 91 Penulis melihat ciri-ciri dari sosok pemimpin yang ideal di atas, masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak masyarakat hilang harapan untuk mendapatkan pemimpin ideal. Tapi bukan berarti sosok pemimpin yang ideal itu tidak ada. Melihat kondisi sekarang, penulis berharap masyarakat bisa berpikir luas, lebih cerdas, lebih objektif, tidak terpengaruh bujuk manis atau politik uang dalam menentukan pilihan kepada calon–calon pemimpin di daerahnya. Pemimpin memiliki manajemen diri dan manajemen waktu yang baik dan efektif . Tanggung jawab kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan jika dapat memenuhi peranan tersebut. Jika suatu bangsa dapat memilih para pemimpinnya dengan baik, maka bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi negara yang besar. Tetapi, jika salah memilih pemimpin, bangsa tersebut akan menuju kehancuran. Keberhasilan dan jatuhnya suatu negara berada di tangan para pemimpinnya. Ini sama halnya seperti dalam dunia bisnis. Tidak peduli betapa hebatnya kemampuan para pekerja di suatu perusahaan, jika kepemimpinannya kurang, maka perusahaan tersebut akan segera mengalami kebangkrutan. Tetapi, jika sang pemilik atau para direksi menyediakan suatu kepemimpinan yang handal, maka perusahaan tersebut akan berkembang dan berhasil. Orang biasa cenderung untuk meniru para pemimpinnya. Mereka mulai meniru para pemimpinnya bukan hanya dalam hal penggunaan kata-kata dan kelakuan, tetapi mereka juga meniru cara berpikir para pemimpin mereka. Coba kita lihat komunitas milist mailing list. Jika pemimpin milist ini handal, maka seluruh komunitas milist ini akan meningkat hari demi hari. Sebaliknya, jika komunitas milist ini kurang dalam hal kepemimpian maka komunitas milist ini akan mengalami banyak penurunan. Ada empat kualitas yang dapat membantu kita untuk mengembangkan kepemimpinan kita 1. Seorang pemimpin yang handal, kita harus dengan cepat memahami kebutuhan orang-orang dan memenuhinya. Sebagai contoh, seorang pedagang harus dengan cepat memahami kebutuhan para produsen, konsumen dan situasi terkini dalam pendistribusian order agar dapat meraih sukses dalam bisnisnya. Ketika kita melakukan suatu bisnis di pasar dunia, perluasan kapasitas produksi tidak akan menjamin kesuksesan dalam bisnis kita. Ketika melakukan produksi, kita harus memahami dan menganalisa status produksi dari barang-barang di seluruh dunia dan berdasarkan itu kita harus mencocokkannya dengan pabrik kita. Hanya analisa yang teliti dan pemahaman yang sepenuhnya yang dapat membawa kesuksesan. Sama seperti hal di atas, mereka yang kurang memiliki kemampuan dalam memahami dan menganalisa kebutuhan orang lain tidak dapat menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus terus menerus tanggap dan harus bisa menganalisa. Apa yang dibutuhkan pasar? Apa yang sedang mereka pikirkan? Dalam hal apa mereka membutuhkan pembaharuan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus selalu ada di dalam pikiran para pemimpin. 2. Seorang pemimpin yang handal, kita harus memiliki kemampuan untuk membuat orang lain sukses. Di antara berbagai macam tipe pemimpin, ada tipe pemimpin otoriter. Para pemimpin otoriter tidak mempedulikan ide-ide atau pendapat dari orang yang berada di bawahnya. Para pemimpin tipe ini menyuruh orang-orang agar mematuhi perintah-perintahnya. Mereka ini akan memanfaatkan bawahan mereka, lalu mengabaikannya. Tipe lainnya yaitu tipe pemimpin mekanis. Mereka ini sangat terikat dengan aturan-aturan yang mereka ikuti. Tipe pemimpin seperti ini telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan menjadi mesin virtual. Pemimpin seperti ini tidak dapat membantu orang lain agar menjadi sukses. Ada beberapa pemimpin yang dengan senang hati membantu orang lain agar menjadi sukses. Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 92 3. Seorang pemimpin yang handal, kita harus selalu memiliki semangat untuk mempelopori dan harus selalu bergerak maju. Kebanyakan orang hanya diam di tempat, mereka hanya berusaha agar keadaan tetap seperti itu. Ini dikarenakan mereka lebih memilih untuk amannya saja daripada hidup dalam ketidakpastian. Apabila seorang pemimpin hanya mencari rasa aman saja sewaktu ia memimpin suatu kelompok, maka ia telah kehilangan tujuannya sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang handal harus mempunyai sifat petualang dan agresif. Ide-ide baru harus dipikirkan dan diterapkan meskipun ide-ide tersebut mungkin mengakibatkan ketidakpastian dan membawa bahaya. Pertumbungan dan perkembangan selalu diikuti oleh sejumlah bahaya. Seorang pemimpin harus terus mengembangkan dan memperluas dirinya agar dapat menjadi pemimpin yang lain daripada yang lain. Saya telah mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan para pemimpin yang terkenal di dunia dan berbicara dengan mereka. Saya telah menemukan bahwa mereka semua mempunyai satu persamaan yaitu mereka semua terlihat sedikit fanatik di dalam beberapa hal tertentu. Mereka kadang-kadang mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti dengan sudut pandang biasa. Mereka semakin menjauh dari realita dan menemukan hal-hal yang baru untuk dikerjakan. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar berpegang pada realita akan mengalami kesulitan untuk memahami mereka. Untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, pikiran kita harus lebih maju daripada orang lain, dan kita harus menjadi pemimpin yang selalu bekerja karena itu, kita harus memiliki gol yang jauh ke depan dan berusaha keras untuk meraihnya dengan segala usaha. Maka kita dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang handal. 4. Seorang pemimpin yang handal, kita harus menginvestasikan semua usaha kita untuk pengembangan diri. Kita harus membayangkan seberapa banyak kita telah mengembangkan dan meningkatkan diri sejak tahun lalu sambil bertanya, "Apa yang bisa saya lakukan untuk menjadi seorang pemimpin yang lebih baik lagi? Bagaimana caranya agar saya dapat menjalankan tugas saya sebagai pemimpin dengan lebih efektif?". Selain itu, kita harus melakukan yang terbaik untuk pengembangan diri kita. Saya menghabiskan banyak energi untuk melakukan pengembangan dan peningkatan diri. Saya selalu berpikir tentang bagaimana meningkatkan diri saya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah para CEO atau para eksekutif perusahaan. Tentu saja mereka sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Tetapi jika kita melihat mereka lebih dekat, kita akan terkejut karena kita akan menemukan bahwa mereka banyak menghabiskan waktu mereka untuk mengembangkan dan meningkatkan diri. Ketika kita tidak bisa merefleksikan pada diri kita sendiri untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang perlu dikuatkan, maka kita akan menemukan bahwa kita tidak akan mampu memimpin. Apabila kita mengikuti panduan ini, maka kita pasti akan menjadi pemimpin-pemimpin yang handal dan kita akan mampu memimpin orang-orang yang berada di bawah kita secara efektif dan bijaksana agar mereka dapat mencapai kesuksesan. E. Revolusi Industri Saat ini Indonesia belum masuk dalam kategori negara industri. Indonesia baru masuk sebagai kategori negara berkembang. Tetapi ada baiknya kita juga mengetahui perkembangan pasar tenaga kerja di negara industri pada lima tahun yang akan datang. Rasanya belum ketinggalan untuk meliput apa yang dihasilkan oleh Forum International yang diadakan tahuan bertemakan “Mastering the Fourth Industrial Revolution” yang terjadi di Davos dari tanggal 20 sampai 23 Januari 2016. Prediksi Perubahan dalam lima tahun mendatang ini perlu adanya skill atau ketrampilan tenaga kerja yang diperlukan untuk Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 93 menyelaraskan perubahan baru ini. Dalam waktu lima tahun yang akan datang dimulai dengan saat ini, hanya sepertiga dari skill yang dianggap penting dalam ketenaga-kerjaan akan berubah secara drastis. Para pakar meramalkan bahwa di tahun 2020, dunia akan memasuki era Industri Di era tersebut, akan banyak bermunculan robot canggih, superkomputer, kendaraan otonom, 3D printing, serta pengoptimasian fungsi otak manusia dengan editing genetik dan perkembangan neuroteknologi. Mungkin terlihat canggih dan membuat takjub, akan tetapi bukan berarti tidak ada kerugian yang ditimbulkan oleh revolusi industri tersebut. Mengutip dari hasil Forum Internasional tahunan yang bertemakan “Mastering the Fourth Industrial Revolution” pada 2016 lalu, Revolusi Industri ini akan menyebabkan disrupsi atau gangguan bukan hanya di bidang bisnis saja, namun juga pada pasar tenaga kerja. Hal ini berarti akan ada banyak jenis pekerjaan yang hilang dan tergantikan oleh fungsi robot atau artificial intelligence. Para tenaga kerja manusia pun tidak menutup kemungkinan akan menghadapi jenis pekerjaan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sehingga revolusi ini mau tak mau menuntut kita untuk terus mengembangkan skill yang sekiranya dapat bermanfaat serta mumpuni di masa depan. Lantas, apa saja skill yang dibutuhkan untuk menghadapi Revolusi Industri Berikut jawabannya! 1. Complex problem solving Complex problem solving disini merupakan kemampuan penyeleasaian masalah kompleks dengan dimulai dari melakukan identifikasi, menentukan elemen utama masalah, melihat berbagai kemungkinan sebagai solusi, melakukan aksi/tindakan untuk menyelesaikan masalah, serta mencari pelajaran untuk dipelajari dalam rangka penyelesaian masalah. 2. Critical thinking Critical thinking atau kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir masuk akal, kognitif dan membentuk strategi yang akan meningkatkan kemungkinan hasil yang diharapkan. Berpikir kritis juga bisa disebut berpikir dengan tujuan yang jelas, beralasan, dan berorientasi pada sasaran. 3. Creativity Creativity atau kreatifitas adalah kemampuan dan kemamuan untuk terus berinovasi, menemukan sesuatu yang unik serta bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Creativity disini dapat juga diartikan mengembangkan sesuatu hal yang sudah ada sehingga dapat menjadi lebih baik. 4. People management People management adalah kemampuan untuk mengatur, memimpin dan memanfaatkan sumber daya manusia secara tepat sasaran dan efektif. 5. Coordinating with other Kemampuan untuk kerjasama tim ataupun bekerja dengan orang lain yang berasal dari luar tim. 6. Emotion intelligence Emotion intelligence atau kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengatur, menilai, menerima, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. 7. Judgment and decision making Judgement and decision making adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan atas situasi yang dihadapi serta kemampuan untuk mengambil keputusan dalam kondisi apapun, termasuk saat sedang berada di bawah tekanan. 8. Service orientation Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 94 Service orientation adalah keinginan untuk membantu dan melayani orang lain sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan memiliki service orientation, kita akan selalu berusaha memberikan yang terbaik pada pelanggan tanpa mengharapkan penghargaan semata. 9. Negotiation Kemampuan berbicara, bernegosiasi, dan meyakinkan orang dalam aspek pekerjaan. Tidak semua orang secara alamiah memiliki kemampuan untuk mengadakan kesepakatan yang berbuah hasil yang diharapkan, namun hal ini dapat dikuasai dengan banyak latihan dan pembiasaan diri. 10. Cognitive flexibility Cognitive flexibility atau fleksibilitas kognitif adalah kemampuan untuk menyusun secara spontan suatu pengetahuan, dalam banyak cara, dalam memberi respon penyesuaikan diri untuk secara radikal merubah tuntutan situasional. Sumber Future of Jobs Reports, World Economic Forum. 5. Kesimpulan Pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi. Kecerdasan emosi merupakan aspek sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja dan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih cenderung sukses dalam dunia kerja dan dalam hidup di masyarakat. Dengan demikian orang yang memiliki kompetensi pribadi kesadaran diri dan kemampuan mengelola diri sendiri dan kompetensi sosial motivasi, empati dan ketrampilan sosial yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi cenderung lebih berhasil dalam segala bidang pekerjaan dan kehidupan. Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada bawahan, memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan melakukan pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan komponen kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam kepemimpinan transformasional adalah cerdas secara emosional. Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada bawahan, memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan melakukan pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan komponen kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam kepemimpinan transformasional adalah cerdas secara emosional, Intelligence adalah Intrapersonal, sebagai indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri, Interpersonal digunakan untuk mengukur Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal , Manajemen Stress digunakan untuk Manajemen dan Pengendalian Emosi, Adaptation digunakan sebagai indikator kemampuan untuk Mengelola Perubahan, dan General Mood digunakan sebagai indikator Motivasi diri. Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 95 Daftar Pustaka Agustian, Ary Ginanjar, 2008, Visioner, ESQ Magazine, No. 9/Thn IV/Agustus 2008, Tilanta Barling,J ,Weber,T and kelloway,EK, 1996,”Effect of transformational leadership training and attitudinal and fiscal outcomes, S field experiment”, Journal of Apllied Psychology, Vol. 81, pp 823-832 Bass, 1985, Leadership and performance Beyond Expectation, Free Press, New York,NY Bass, BM, 1998, Transformational Leadership Indutrial. Military, and Educational Impact, Lawrence Erlhaum Associates, Mahwah, NJ Bass, and Avolio, BJ, 1997, Full Range Leadership Development, Manual for the Multifactor Leadership Questionaire, Mind Garden, Palo Alto, CA. 1. Bliss, 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s Ability to Make Effective Decision, Online, htpp// diakses 23 Febrari 2019 2. Bliss, 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s Ability to Make Effective Decision, Online, htpp// diakses 23 Januari 2019 Boyatzis,RE, 2008; “Competencies in the twenty-first century”, Journal of Management Development, Vol. 25, pp 607-623. Cooper, & Sawaf, A. 1998. Emotional Intelligence in the Leadership Organizations, Online, htpp// diakses 25 Januari 2019 Cooper, & Sawaf, A. 2001. Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alih Bahasa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta Penerbit Pustaka Utama Davies, M. 1998. Emotional Intelligence-Old Wine in New Bottles ?,Online, htpp// diakses 23 Januari 2019 Duning, D. 2000. Leadership in the Millenium, Online, htpp// diakses 24 Januari 2019 ESQ Nebula, 2009, Peduli dan Empati, ESQ Nomor 11, Product Leader Pahami Suara Hati Konsumen, PT Arga Tilanta, Jakarta Goleman, D. 1995. Emotion and Emotional Intelligence, Online, htpp// diakses 24 Januari 2019 …………., 2000, Kecerdasan Emosional mengapa Emotional Intelligence lebih penting dari pada IQ, Penerbit Gramedia Pustaka Utama ………., 2002, Esensi Manajemen dan Kepemimpinan Spiritual, ESQ Nebula, Product Leader, Pahami Suara Hati Konsumen, PT. Arga Tilanta, Jakarta Gordon, 1991. Organizational Behaviour A Diagnostic Approch 3rd edition. Boston Allyn Bacon. Gunawan Samsu ,2008, , Visi Seorang Visioner, ESQ Magazine, No. 9/Thn IV/Agustus 2008, Tilanta. Hidayat, Riskin, 2008, Sinergi Parktek ESQ dan Budaya Organsiasi dalam mencapai kinerja perusahaan yg tinggi dan berkelanjutan keunggulan Kompetitif, Jurnal Bisnis & manajemen Vol. 8, 2008, 71-82 Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 96 Hogan, R., Curphy, & Hogan, J. 1994. What We Know About Leadership Effectiveness and Personality, Journal of American Psychological Association June 1994 Online, htpp// diakses 29 Februari 2019 Howell,JM and Avolio,BJ, 1993, “Transformational leadership, transactional leadership, locus of control and support for innovation key predictors of consolidated business unit performance”, Journal of Apllied Psychology, Vol. 78, pp 891-902 Kane, 1998. Leadership Poised at the Millenium, Independent School Magazine,Online, htpp// Resources/articles/Leadership poised at the diakses 29 Februari 2019 Kierstead, J. 1999. Human Resources Management TREDS and Issues Emotional Intelligence In the Workplace, Online, htpp// diakses 23 Februari 2019 Klemm, 1999. Leadership Creativity and Innovation, Online, htpp// diakses 28 September 2001 Lowe,KB and Kroeck,KG, 1996, ” of transformational andtransaktional leadership a meta analytic review”, Leadership Quarterly, Nurtantiono, Andri 2012 Kecerdasan Emosional, Kompetensi Kepemimpinan Transformasional, Jurnal Graduasi Vol. 27 Edisi Maret Polychroniou, PV, 2009, Relationship between emotional intelligence and transformational leadership of supervisors The impact on team effectiveness, Team Performance Management, Vol. 15 No. 7/8 2009, pp 343-356, Emerald Group Publishing Limited. Riyadiningsih,H dan Ratna Pujiastuti, 2007, Analisis Tipe kepemimpinan dalam meningkatkan Kinerja Organisasi, Jurnal Bisnis & Manajemen hal 147-156 Robbinson, C. 2000. Leading Effectively Leadership Can be Taught, But Commitment Needed, Online, htpp// diakses 30 Februari 2019 Simmons, K. 2001. Emotional Intelligence What Smart Manager Know Success in the Workplace takes to strengthen this essential professional skill, Online, htpp// diakses 24 Februari 2019 Steers, Ungson, & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations An Introduction. Boston Kent Publishing Company. Rost, JC, 1991,”Leadership for the Twenty-first Century”, Greenwood, NewYork, NY Sivanathan, Niroshaan dan F, 2002, Emotiuonal Intelligence, moral reasoning, and transformational leadership, Ledership & Organization Development Journal, 23/4 pp 198-204 Sosik,JJ and Megerian,LF, 1999, ”Understanding leader emotional intelligence and performance the role of self other agreement on transformational leadership perceptions”, Group and Organizational Management, Vol 24, pp 367-390. Stein, SJ. Et al, 2009, Emotional intelligence of leaders a profile of top executives, Leadership & Organization Development Journal, Vol. 30 No. 1, 2009, pp 87-101, Emerald Group Publishing Limited. Stein, SJ and Book,HE, 2000,The EQ Edge Emotional Intelligence and Your Succes, Stoddart Publishing, Toronto Jurnal Inspirasi BPSDM Provinsi Jawa Barat Volume 10 Nomor 1 April 2019 Jurnal Inspirasi Volume 10 Nomor 1 April 2019 97 Steers, Ungson, & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations An Introduction. Boston Kent Publishing Company Tanaka, 1998, “Plato on Leadership” Journal of Business Ethics, Vol 17,pp 785-798. Yammarino,FJ and Dubinsky,AJ, 1994, ”Transformational leadership theory using levels of analysis to determine boundary conditions”, Personnel Psychology, pp. 787-811. Yukl,Gary, 2006, Kepemimpinan Dalam Organisasi, PT. Indeks, Jakarta Yoenanto, Herry 2002 Pentingnya Kecerdasan Emosi Bagi Kepemimpinan Yang Efektiuf Jurnal Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi APO Diakses 5 Maret 2019 Diakses 9 Maret 20`19 Diakses 9 Maret 2019 diakses 9 Maret 2019 Diakses 10 maret 2019 ... Kecerdasan emosional ini akan menjelaskan bagaimana seseorang mampu untuk memahami orang lain, mengekspresikan emosi dan mengelola emosinya sendiri, juga orang lain. Pemimpin yang efektif juga merupakan pemimpin yang mampu memimpin dengan segala ucapan, perbuatan dan sikap atau perilaku hidup yang mendorong dan mengantarkan bawahan pada tujuan yang hendak dicapai Suryana, 2019. Seluruh bentuk sikap, perbuatan, dan perilaku dari pemimpin dapat dikontrol melalui emosinya. ...... The Director General of Development, Training and Productivity of the Ministry of Manpower of the Republic of Indonesia said that as much as 57 percent of the work currently available will be eroded by robots. However, behind the loss of some jobs will also appear new jobs Suryana Suryana, 2019. Emerging jobs give birth to freelancers. ... I Wayan Gde WiryawanDewi BungaThe Industry or the Fourth Industrial Revolution has provided a paradigm shift towards the way of work. The emergence of millennial groups that avoid attachment, give birth to a new working relationship called atypical work. This type of employment relationship means that the employment relationship between the employer and the worker without the existence of a long-term work contract, the provision of additional facilities, salaries and pensions, or other benefits that are usually obtained by typical workers. The atypical worker relationship is outside the context of the employment relationship as referred to in Law of 2003 on Employment. This study discussed about 1 What is the position of employers and workers in atypical work relations? 2 What is the legal protection for atypical workers in the Industry in the future? This research is a normative legal research that examines the void of norms regarding legal protection of atypical workers. The legal material in this study consists of primary and secondary legal materials. The legal materials are collected through literature study. The problem analysis is done qualitatively. The position of employers and workers in atypical work relations is equivalent based on agreements made between the parties. This condition requires a high literacy of rights and obligations in the employment field. The legal protection for atypical workers in the Industry in the future is to provide economic, social and technical protection to the SimonAlvonce PoluanThe basic idea of this article comes from factual events there are disputes between the leaders of the church organization and the members they lead. Disputes are caused by the leadership model run by the leader in organizing the organization that does not match the expectations expectations of the subordinates. The research method used in the writing of this article is a qualitative method with a literature approach and in-person interviews. The description of this paper, the church organization stands on the permission of God initiated by His servants. With the organization, the church provides a sketch of who is the leader and who is being led. The leadership model needed in the organization of the church by a leader is non-tribalism, open to input and criticism, not concerned with personal interests but not to self-indulgence in practical politics. The achievement of organization missions is on the shoulders of the leader, whether to mobilize all the resources possessed by the organization components of the church. AbstrakIde dasar dari artikel ini berangkat dari peristiwa faktual, adanya perselisihan antara pemimpin organisasi gereja dengan anggota yang dipimpin. Perselisihan itu timbul ditenggarai oleh model kepemimpinan yang dijalankan oleh si pemimpin dalam penataan organisasi tidak sesuai dengan ekspektasi harapan oleh bawahan. Metode yang peniliti gunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan kepustakaan disertai wawancara secara langsung. Uraian dari tulisan ini, organisasi gereja berdiri atas seijin Tuhan yang diprakarsai oleh hamba-hamba-Nya. Dengan adanya organisasi gereja memberikan sketsa siapa yang menjadi pemimpin dan siapa yang dipimpin. Model kepemimpinan yang dibutuhkan dalam penataan organisasi gereja oleh seorang pemimpin adalah tidak sukuisme, terbuka kepada masukan dan kritikan, tidak mementingkan kepentingan pribadi maupun golongan serta tidak menceburkan diri pada politik praktis. Tercapainya sebuah visi-misi organisasi ada dalam pundak sang pemimpin, apakah ia bisa menggerakkan semua sumber daya yang dimiliki oleh kompomen organisasi gereja tersebut. Hardivizon HardivizonMufidah MufidahOne of the problems that always exists in every human being is negative emotions. This study aims to find out how to control emotions in the Qur’an through deepening the meaning of the word kaẓim with the sematic approach of Thosihiko Izutsu. This term is repeated 6 times which is covered in 6 surahs. Each verse contained in various surahs certainly has a different meaning, so it requires a deep understanding. The semantics of the Qur’an according to Izutsu is an attempt to reveal the world view weltanschauung through semantic analysis of the vocabulary or key terms of the Qur’an. The process carried out in this research is to examine the basic meaning, relational meaning, and historical meaning of the word kaẓim. The result of this research is that the word kaẓim based on the semantic analysis of Toshihiko Izutsu is a word that contains full meaning and closes it tightly. Signaling unfriendly feelings in one’s heart either because of anger, sadness, disappointment, shame, fear, and irritation, his mind is always demanding revenge, but he holds those feelings in his heart. Therefore, there are 4 ways to control emotions in kaẓim terms, namely, with prayer, dzikrullah, patient, and Ni'matuzzakiyahPondok pesantren dengan dinamika perkembangannya mewarnai kultur, kemandirian, kepemimpinan dan kematangan diri para santri, menuntut para santri untuk memiliki kecerdasan emosional yang baik dalam menapaki kehidupan di dalamnya, terlebih para pembimbing pondok pesantren yang notabene usia mereka tidak terpaut jauh dengan para santri bimbingannya, memiliki peranan yang cukup penting terutama dalam proses membimbing, mengayomi, memimpin para santri, ritme yang demikian menjadikan sebagian besar pembimbing merasa tidak nyaman, jenuh, bingung membagi waktu, lelah secara fisik dan psikis. Belum lagi para pembimbing masih pada fase remaja, yang mana masih mengalami gejolak jiwa, karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana pengaruh self leadership dan self maturity terhadap kecerdasan emosional pembimbing pondok pesantren. Populasi dan sampel adalah seluruh pembimbing pondok pesantren STIKES Surya Global Yogyakarta yang berjumlah 88 orang. Data dari tiga skala; Kecerdasan Emosional, Self Leadership dan Self Maturity dianalisis dengan menggunakan teknik statistika, yaitu analisis regresi berganda. Proses analisisnya menggunakan program SPSS for Windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self leadership dan self maturity terbukti memengaruhi kecerdasan emosional pembimbing pondok pesantren F = 40,680; p = 0,000 p kurang dari 0,001 yang berarti sangat signifikan dengan sumbangan prediktor R2 sebesar 67,2%. Richard E. BoyatzisPurpose The purpose of this paper is to show that development of competencies needed to be effective managers and leaders requires program design and teaching methods focused on learning. This is the introductory essay to this special issue of JMD . Design/methodology/approach Competencies are defined and an overview is provided for the eight papers that will follow with original research on competencies, their link to performance in various occupations, and their development. Findings Emotional, social and cognitive intelligence competencies predict effectiveness in professional, management and leadership roles in many sectors of society. In addition, these competencies can be developed in adults. Research limitations/implications As an introductory essay, this lays the foundation for the papers in this issue. Practical implications Competencies needed to be effective can be developed. Originality/value Despite widespread application, there are few published studies of the empirical link between competencies and performance. There are even fewer published studies showing that they can be developed. This special issue will add to both J. SosikLara E. MegerianThe purpose of this study was to examine whether self-awareness of managers defined as agreement between self and other leadership ratings would moderate relationships between a aspects of emotional intelligence and transformational leadership behavior, and b transformational leadership behavior and managerial performance. Multisource data were collected from 63 managers who responded about their emotional intelligence and transformational leadership behavior, 192 subordinates who rated their manager’s transformational leadership behavior and performance outcomes, and 63 superiors of focal managers who rated managerial performance. Results indicated that correlations between emotional intelligence aspects, leader behavior, and performance varied as a function of self-awareness of managers. The practical implications of these findings are The purpose of this paper is to examine the emotional intelligence EI scores of two high profile executive groups in comparison with the general population. Also the study aims to investigate the executive group's EI scores in relation to various organizational outcomes such as net profit, growth management, and employee management and retention . Design/methodology/approach The Emotional Quotient Inventory EQ‐i was administered to a sample of 186 executives 159 males and 27 females belonging to one of two executive mentoring associations, the Young Presidents' Organization YPO and the Innovators' Alliance IA. A series of questions relating to pre‐tax operating profits over the past three years, previous year's net profit, and various business challenges were asked of each executive. Findings The results showed that top executives differed significantly from the normative population on the EQ‐i in eight of the 15 EQ‐i subscales. Executives who possessed higher levels of empathy, self‐regard, reality testing, and problem solving were more likely to yield high profit‐earning companies, while Total EQ‐i was related to the degree to which a challenge was perceived as being easy with respect to managing growth, managing others, and training and retaining employees. Practical implications The findings enable researchers and practitioners to better understand what leadership differences and similarities exist at various organizational levels. These profiles further aid in human resource initiatives such as leadership development and personnel selection. Originality/value Despite empirical evidence supporting the relationship between EI and leadership, research with high‐level leadership samples is relatively sparse. The study examines EI in relation to two unique, yet high functioning executive groups, which will enable further exploration into the emotional and psychological structure of these high‐performing J. YammarinoAlan J. DubinskySought to refine understanding of transformational leadership theory TLT by a specification and test of boundary conditions. Multiple levels of analysis individual, dyad, and group were used to identify and assess the potential bounds on TLT. Multi-source data were collected from 105 male salespersons and their 33 male sales supervisors, and within and between analysis procedures were conducted. Contrary to higher-level dyad, group and cross-level assertions in the literature, transformational leadership results were based solely on individual differences. That is, in this sales setting, TLT was determined to be an individual-level theory bounded by individuals' superiors' and subordinates' perceptions and not holding at higher or cross levels of analysis. PsycINFO Database Record c 2012 APA, all rights reservedB M BassBass, BM, 1998, Transformational Leadership Indutrial. Military, and Educational Impact, Lawrence Erlhaum Associates, Mahwah, NJFull Range Leadership Development, Manual for the Multifactor Leadership QuestionaireB M BassAvolioBjBass, and Avolio, BJ, 1997, Full Range Leadership Development, Manual for the Multifactor Leadership Questionaire, Mind Garden, Palo Alto, Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader's Ability to Make Effective DecisionS E BlissBliss, 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader's Ability to Make Effective Decision, Online, htpp// diakses 23 Januari 2019Emotional Intelligence in the Leadership OrganizationsR K CooperA SawafCooper, & Sawaf, A. 1998. Emotional Intelligence in the Leadership Organizations, Online, htpp// diakses 25 Januari 2019Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan OrganisasiR CooperA SawafCooper, & Sawaf, A. 2001. Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alih Bahasa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta Penerbit Pustaka Utama Davies, M. 1998. Emotional Intelligence-Old Wine in New Bottles ?,Online, htpp// diakses 23 Januari 2019
- Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang berjalan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep demokrasi dianggap sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi dari demokrasi adalah partisipasi publik dalam menentukan pejabat-pejabat publik dalam pembuatan kebijakan publik. Demokrasi tanpa partisipasi langsung dari rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Kualitas sistem demokrasi ikut ditentukan oleh kualitas proses pemilihan para wakil rakyat dalam pemerintahan. Inilah mengapa disebut kedaulatan berada di tangan rakyat. Sebagai wujud pertanggungjawaban terhadap demokrasi, salah satu tugas rakyat adalah melakukan pengawasan pada kekuasaan. Baca juga Lahirnya Demokrasi di Negara-negara Dunia Rakyat menitipkan sebagian kekuasaan kepada pejabat publik untuk mengelola negara. Oleh karena itu perlu adanya kontrol terhadap kekuasaan tersebut. Jika negara berjalan tanpa pengawasan rakyat dan rakyat tidak diberi kebebasan atau ruang berekspresi, maka demokrasi tidak ada di Indonesia. Dampak jangka panjang apabila rakyat membiarkan kekuasan tanpa pengawasan adalah munculnya otoritarianisme atau bentuk kekuasaan yang terkonsentrasi pada orang dan kelompok tertentu tanpa melihat derajat umum atau pemilu menjadi bentuk konkret kedaulatan rakyat, sehingga seluruh tahapannya juga menjadi tanggung jawab pemerintah bersama rakyat. Salah satunya melalui hadirnya komisi pemilihan umum atau KPU dan badan pengawas pemilu atau bawaslu yang bersifat independen. Pemilu di Indonesia pertama kali dilangsungkan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan konstituante. Pemilu 1955 dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Hingga kini, Indonesia telah melaksanakan tiga periode pemilu yaitu Pemilu 1955 Pemilu nasional pertama memilih anggota DPR pada 29 September 1955 dan anggota konstituante pada 25 Desember 1955. Periode Soeharto Pemilu 1971 - 1997 Selama 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto, telah diadakan enam kali pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II. Diikuti oleh tiga partai politik. Periode Reformasi Pemilu 1999 - Sekarang Masa pemerintahan BJ Habibie, pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Ini menjadi pemilu pertama masa reformasi yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah atau pilkada juga dimulai pada periode reformasi. Baca juga Demokrasi Liberal 1949-1959 Pengertian, Ciri-Ciri, dan Kegagalannya Dilihat dari sejarahnya, terlihat jelas bagaimana kualitas demokrasi di Indonesia dari waktu ke waktu. Pada masa pemerintahan Soeharto atau orde baru, pemilu hanya diikuti oleh tiga partai politik dan selalu didominasi oleh satu partai politik saja selama bertahun-tahun. Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan meledaknya tuntutan masyarakat atas kekuasaan otoriter, praktik demokrasi mengalami kemajuan. Salah satunya ditandai dengan banyaknya partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu. Dewasa ini, munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada menjadi salah satu indikator yang dapat mengurangi esensi demokrasi. Referensi Nadrilun. 2012. Mengenal Lebih Dekat Demokrasi Di Indonesia. Jakarta PT Balai Pustaka Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
tolong minta soal lomba cerdas cermat empat pilar dongDaftar Isi1. tolong minta soal lomba cerdas cermat empat pilar dong2. Jelaskan 4 pilar kecerdasan manusia3. apa saja soal di LCC 4 PILAR??4. Sebutkan 4 pilar kebangsaan indonesia. Tolong ya, soalnya itu soal buat MOS5. Adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalankan pemerintahan demokrasi menunjukan salah satu pilar demokrasi Adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalankan pemerintahan demokrasi menunjukkan salah satu pilar demokrasi pancasila yaitu7. Adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalan pemerintahan demokrasi menunjukkan salah satu pilar demokrasi pancasila, yaitu ......8. 10 Soal 4 pilar kebangsaan! 9. Adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalankan pemerintahan demokrasi menunjukkan salah satu pilar demokrasi Pancasila, yaitu ….10. Adanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalankan pemerintahan demokrasi menunjukkan salah satu pilar demokrasi Pancasila, yaitu 1. tolong minta soal lomba cerdas cermat empat pilar dong 1. Jelaskan latarbelakang pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ditangan Presiden menjadi kewenangan DPR? 2. Jelaskan bagian dan materi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tidak dapat diubah dan mengapa terhadap hal tersebut tidak dapat dilakukan perubahan? 3. Jelaskan ciri-ciri sistem pemerintahan presidensil! 4. Jelaskan latar belakang pembentukan lembaga Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia! 5. Jelaskan latar belakang dibentuknya Mahkamah Konstitusi! 6. Jelaskan makna yang terkandung dalam rumusan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”! 7. 10. Jelaskan kedudukan serta tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945! makna rumusan ” meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional! 9. Mengapa dalam setiap pembahasan RUU APBN oleh Presiden dan DPR harus dengan memperhatikan pertimbangan DPD? 10. Jelaskan mengapa MPR tidak lagi memiliki wewenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara? 2. Jelaskan 4 pilar kecerdasan manusiaJawaban IQ, EQ, SQ, dan TQ. IQ adalah kecerdasan intelektual, sementara EQ merupakan kecerdasan emosional EQ. SQ adalah kecerdasan spiritual dan TQ ialah kecerdasan jawaban tercedas ya 3. apa saja soal di LCC 4 PILAR?? tap tap MPR soal pasalpasal Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhinneka Tunggal IkhaLebih lenkap lagi MPR, 4 Pilar yang dimaksud MPR tersebut adalah Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ikha. Penulis termasuk salah seorang pelajar yang dipercaya oleh sekolahnya untuk mengikuti lomba tersebut di Provinsi Jambi, provinsi tempat penulis tinggal, oleh karena itu penulis memiliki beberapa contoh soal LCC 4 Pilar tersebut yang dikutip dari berbagai blog beberapa contoh soal LCC 4 PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA & BERNEGARA. Semoga bermanfaat!! 4. Sebutkan 4 pilar kebangsaan indonesia. Tolong ya, soalnya itu soal buat MOS - UUD 1945- Pancasila- Bhinneka Tunggal Ika- NKRI4 pilar kebangsaan indonesia - Pancasila - UUD 45 - NKRI - Bhineka Tunggal Ika Jawabanyakni demokrasi dengan kecerdasanmaaf kalo salah ya kakJawabanDemokrasi dengan kecerdasanJawabandemokrasi dengan kecerdasan 8. 10 Soal 4 pilar kebangsaan! 4 pilar kebangsaan1. Pancasila2. UUD 19453. NKRI4. Bhineka Tunggal IkaSemoga membantu... JawabanDemokrasidengankecerdasanAdanya kecerdasan emosional seseorang dalam menjalankan pemerintahan demokrasi menunjukkan salah satu pilar demokrasi Pancasila, yakni demokrasi dengan kecerdasan. Jadi, pada demokrasi dengan kecerdasan ini berati mengatur dan juga menyelenggarakan demokrasi menurut UUD tahun 1945 bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot, atau kekuatan massa semata-mata. Melainkan lebih menuntut kecerdasan rohaniah, aqliyah, rasional juga demokrasi sendiri ada 10, salah satunya yakni demokrasi dengan kecerdasan, 9 dari 10 pilar demokrasi yang belum disebutkan antara lain yakniDemokrasi yang Berketuhanan yang berkedaulatan dengan rule of dengan pemisahan kekuasaan negara. Demokrasi dengan hak asasi manusia. Demokrasi dengan pengadilan yang dengan otonomi daerah. Demokrasi dengan yang berkeadilan lebih lanjut1. Materi tentang sistem demokrasi pancasila Materi tentang ciri khas demokrasi pancasila Materi tentang demokrasi pancasila jawabanKelas 11Mapel PPKnBab Bab 3 - Menelusuri Dinamika Demokrasi dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan BeragamaKode
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya di dalam suatu organisasi membutuhkan banyak hal yang penting, salah satunya yaitu kecerdasan. Kecerdasan merupakan suatu hal yang dibutuhkan dalam menentukan keberhasilan dan efektivitas umum, penelitian menunjukkan bahwa pemimpin memiliki nilai lebih tinggi daripada kebanyakan orang dalam tes kemampuan kognitif, seperti tes IQ, dan kemampuan kognitif berhubungan secara positif terhadap kepemimpinan yang efektif. Selain itu, para pemimpin dan peneliti menyadari pentingnya kecerdasan emosional, atau yang disebut juga dengan EQ Emotional Intelligence.Kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan seseorang untuk memahami, mengidentifikasi, dan berhasil mengelola emosi dalam diri dan orang lain. Pemimpin yang memiliki EQ yang tinggi dinilai lebih efektif oleh rekan kerja dan bawahan. Menurut Salovey dan Mayer pada tahun 1997 dalam Morgan, 2003 mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi melibatkan kemampuan untuk mengetahui, menilai dan mengekspresikan emosi secara akurat; kemampuan untuk menggunakan emosi untuk berpikir; kemampuan untuk memahami dan memiliki pengetahuan tentang emosi; serta kemampuan untuk mengelola emosi untuk mengembangkan diri. Adanya emosi merupakan hal yang penting dalam kepemimpinan. Salah satu alasannya yaitu pemimpin memanfaatkan dan mengarahkan kekuatan emosi untuk memperbaiki kepuasan diri pengikut, moral, dan motivasi akan mendapatkan hasil yang lebih baik dan meningkatkan keseluruhan efektivitas organisasi. Keadaan emosional pemimpin dapat mempengaruhi sebuah tim, kelompok, dan organisasi; seperti contohnya adalah jika pemimpin mengeluarkan emosi positifnya seperti tersenyum, maka emosi positif tersebut akan menular kepada emosi positif juga terdapat emosi negatif, adanya penelitian yang mengatakan bahwa emosi negatif lebih mudah menyebar daripada emosi positif karena pada umumnya emosi positif kurang dipengaruhi oleh orang dari itu, diperlukan peran pemimpin agar dapat menyadari pentingnya menjaga emosi, tidak hanya emosi mereka sendiri tetapi juga membantu orang lain dalam mengelola emosi negatif menjadi emosi yang positif sehingga dapat memberikan dampak yang lebih baik dalam jalannya operasional dalam emosi juga dapat mempengaruhi performa seseorang dalam melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan tertentu. Banyak bukti yang telah menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara suasana hati seseorang dan berbagai aspek kinerjanya, seperti kerja tim, kreativitas, pengambilan keputusan, dan kinerja hati negatif dapat menguras energi dan mencegah orang untuk melakukan yang terbaik. Sedangkan, adanya emosi positif yang merupakan penurunan emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan, kegelisahan, dan ketakutan dapat memungkinkan individu untuk melakukan yang terbaik dari kemampuan dari itu, penting bagi pemimpin dalam suatu organisasi untuk mempunyai kecerdasan emosional sehingga dapat menjaga keseimbangan emosi untuk membantu memotivasi dan menginspirasi orang di sekitar mereka. Pemahaman emosional dapat memberikan pengaruh kepada orang lain dengan cara yang positif. Lihat Money Selengkapnya
Democracia é a prática política de dissolução, de alguma maneira, do poder e das decisões políticas em meio aos cidadãos. O termo democracia tem origem grega, podendo ser etimologicamente dividido da seguinte maneira demos povo, kratos poder. Leia mais Direitos Humanos — categoria de direitos que baseia a legislação da maioria dos países democratas ocidentais Tópicos deste artigo1 - Resumo sobre democracia2 - Videoaula sobre democracia3 - Origem da democracia4 - Tipos de democraciaDemocracia diretaDemocracia representativaDemocracia participativa5 - Exemplos de democracia6 - Democracia moderna7 - Democracia e ditadura8 - Democracia no BrasilResumo sobre democracia Democracia é a prática que garante aos cidadãos o poder de participação nas decisões políticas de seu país. Originou-se na Grécia Antiga, no entanto, na época, cidadãos eram um grupo reduzido de pessoas, excluindo-se mulheres e escravizados, por exemplo. Há três tipos de democracia direta, representativa e participativa. A Inglaterra é um exemplo de monarquia democrática, exercendo o tipo representativo, e a Suíça é um exemplo de democracia participativa. O conceito de democracia foi bastante ampliado desde sua origem, e, mais recentemente, sofreu alterações com base nos ideais do iluminismo e após a Revolução Francesa. Democracia e ditadura são termos que se opõem e se anulam. Onde uma está, não pode haver a outra. Vários aspectos garantem a distinção desses dois estados, sendo eleições idôneas, acesso à informação e liberdade de associação política alguns deles. No Brasil, a democracia sempre esteve oscilando, com vários golpes de Estado praticados ao longo da nossa formação enquanto nação. Videoaula sobre democracia Origem da democracia A democracia ocidental teve origem em Atenas, na Grécia Clássica. Os gregos antigos criaram a ideia de cidadania, que se estendia àquele que é considerado cidadão e poderia, portanto, exercer o seu poder de participar da política da cidade. A democracia grega era restrita, e essa ideia começou a mudar a partir da Revolução Francesa e do iluminismo moderno, que, por meio do republicanismo, passaram a advogar por uma participação política de todas as classes sociais. Ainda na Modernidade, apesar de avanços políticos e de uma ampliação do conceito de democracia, as mulheres não tinham acesso a qualquer tipo de participação democrática ativa nos países republicanos, fato que somente começou a ser revisto com a explosão do movimento feminista das sufragistas, que culminou na liberação, pela primeira vez na história, do voto feminino, na Nova Zelândia, em 1893. Apesar de conhecermos de perto a democracia, o conceito que designa a palavra é amplo e pode ser dividido e representado de diferentes maneiras. Não existindo apenas um tipo de regime político democrático, a democracia divide-se, basicamente, em direta, participativa e representativa. Tipos de democracia As democracias podem ser classificadas com base no modo como se organizam, e também podem apresentar diferentes estágios de desenvolvimento. Por isso, o termo é amplo e de difícil definição, pois o simples ato de dizer que “a democracia é o poder do povo” ou de associar democracia à prática de eleições não define o conceito em sua totalidade. Podemos estabelecer três tipos básicos de democracia Democracia direta É a forma clássica de democracia exercida pelos atenienses. Não havia eleições de representantes. Havia um corpo de cidadãos que legislava. Os cidadãos reuniam-se na ágora, um local público que abrigava as chamadas assembleias legislativas, nas quais eram criadas, debatidas e alteradas as leis atenienses. Cada cidadão podia participar diretamente emitindo as suas propostas legislativas e votando nas propostas de leis dos outros cidadãos. Os cidadãos atenienses tinham muito apreço por sua política e reconheciam-se como privilegiados por poderem participar daquele corpo tão importante para a cidade, por isso eles levavam a sério a política. Os cidadãos preparavam-se, mediante o estudo da Retórica, do Direito e da Política, para as assembleias. Eram considerados cidadãos apenas homens, em sua maioridade, nativos de Atenas ou filhos de atenienses e livres. As decisões, então, eram tomadas por todos, o que era viável devido ao número reduzido de cidadãos. Democracia representativa É mais comum entre os países republicanos do mundo contemporâneo. Pela existência de vastos territórios e de inúmeros cidadãos, é impossível pensar em uma democracia direta, como havia na Grécia. Vários fatores contribuíram para a formação desse tipo de democracia, dos quais podemos destacar Sufrágio universal. Existência de uma Constituição que regulamenta a política, a vida pública e os direitos e deveres de todos. Igualdade de todos perante a lei, o que está estabelecido pela Constituição. Necessidade de eleger-se representantes, pois não são todos que podem participar. Necessidade de alternância do poder para a manutenção da democracia. As democracias representativas são regidas por Constituições que estabelecem um Estado Democrático de Direito. Nessas organizações políticas, todo cidadão é considerado igual perante a lei, e todo ser humano é considerado cidadão. Não pode haver desrespeito à Constituição, a Carta maior de direitos e deveres do país, e os cidadãos elegem representantes que legislarão e governarão em seu nome, sendo representantes do poder popular nos poderes Executivo e Legislativo. A vantagem desse tipo de organização política é a exequibilidade, e sua desvantagem é a brecha para a corrupção e para a atuação política em benefício do bem privado e não do bem público. Por ser um sistema em que a participação política não é exercida diretamente, mas por meio de representações, ele é chamado de democracia indireta. A eleição de representantes políticos é a característica principal da democracia representativa. Democracia participativa Nem uma democracia direta, como era feita na Antiguidade, nem totalmente indireta, como acontece com a democracia representativa, a democracia participativa mescla elementos de uma e de outra. Existem eleições que escolhem e nomeiam membros do Executivo e do Legislativo, mas as decisões somente são tomadas por meio da participação e autorização popular. Essa participação acontece nas assembleias locais, em que os cidadãos participam, ou pela observação de líderes populares, nas assembleias restritas, que podem ou não ter direito a voto. Também acontecem plebiscitos para ser feita uma consulta popular antes de tomar-se uma decisão política. Esse tipo de democracia permite uma maior participação cidadã, mesmo com a ampliação do conceito de cidadania, e pode ser chamada democracia semidireta. Leia também O que é golpe de Estado? Exemplos de democracia A possibilidade de participação direta na política é a principal característica da democracia participativa. Muitos países republicanos ocidentais têm, em algum grau, o desenvolvimento de algum tipo de democracia. Também existem grandes monarquias, como a Inglaterra, que são democráticas. Em sua maioria, os países democráticos executam a democracia representativa. O sistema político no Brasil pode ser chamado de representativo, mas a nossa Constituição Federal de 1988 permite uma ampla participação popular, que, caso fosse efetivamente aplicada, poderia colocar-nos no patamar de democracia participativa, inclusive prevendo a possibilidade de uma iniciativa popular pare agora... Tem mais depois da publicidade ; Alguns estados dos Estados Unidos exercem a participatividade semidireta, e um bom exemplo de país que exerce a democracia participativa é a Suíça. Já a democracia direta não existe mais em nível nacional na contemporaneidade devido à sua inexequibilidade perante a ampliação do conceito de cidadania. Democracia moderna Protesto contra Donald Trump, ex-presidente dos Estados Unidos, no dia de sua posse. A democracia moderna estabelece o tratamento igualitário a todos. O turbilhão de ideais surgido na Europa durante a Modernidade deu origem ao iluminismo e às chamadas revoluções burguesas. O iluminismo é um bom exemplo do resgate de certos ideais ocidentais, esquecidos durante muito tempo, contra o chamado Antigo Regime. Tratava-se de pensar em uma ampliação do conceito de soberania agora popular e de cidadania. Para tanto, era necessário reavivar a ideia de democracia dos gregos e trazer uma nova forma de pensar a política, sem estratificação social, como acontecia no sistema aristocrático europeu até então. Os ideais de liberdade, igualdade e fraternidade, entoados como mantras durante a Revolução Francesa, são um forte símbolo da democracia moderna, que nasce ao mesmo tempo que o republicanismo; porém vale lembrar que república e democracia não são sinônimos. A democracia moderna prevê a criação de um Estado de direito, onde todos são, a princípio, livres e iguais, não importando a origem, a classe social, a cor ou a religião. Aliás, o Estado democrático deve ser laico, para que contemple as pessoas de todas as religiões existentes. As democracias mais maduras datam do mesmo período em que crescia o pensamento iluminista europeu, no século XVIII, e podemos citar a França e os Estados Unidos como as mais antigas. Nessas democracias maduras, há um problema recente relacionado à pouca participação popular e à insatisfação com a criação de um Estado, às vezes, omisso, às vezes, burocrático demais, dificultando a vida dos cidadãos, acirrando as desigualdades sociais ou sendo travado pela corrupção do sistema. Existem também as recentes e frágeis democracias que, seguindo os exemplos modernos, ainda não conseguiram estabelecer-se plenamente, e muitos cidadãos ainda não estão habituados à vida democrática. São democracias que surgiram somente no século XX, depois de ditaduras conservadoras de direita, ditaduras comunistas ou longos regimes totalitários como é o caso de Portugal e Espanha. Confira no nosso podcast Esquerda, direita e centro na política Democracia e ditadura Manifestante queimando carro durante protesto. A discordância é marca fundamental da democracia. Sistematicamente, democracia e ditadura são termos opostos. Não é o simples fato de haver escolha política em um país eleição que o torna, automaticamente, uma democracia. Muitas ditaduras permitem eleições para que o processo político pareça mais legítimo, porém a ausência de participação popular na política e outros fatores podem denominar o que chamamos de ditadura. Para ser considerado, efetivamente, uma democracia, um país deve conter, entre outras coisas liberdade de expressão e de imprensa; possibilidade de voto e elegibilidade política; liberdade de associação política; acesso à informação; eleições idôneas. A não observância dos fatores anteriores, somada a outros fatores, como a derrubada de uma Constituição legal sem a formação de uma Assembleia Constituinte, pode indicar a existência de uma ditadura. Quando um Estado Democrático de Direito, representado pela Constituição, é, por algum motivo, suspenso, interrompido ou deixado de lado, podemos dizer que há a formação de um Estado de exceção, uma das características de uma ditadura. O filósofo francês contemporâneo Jacques Rancière escreveu um livro intitulado O ódio à democracia, em que ele disserta sobre a crise democrática que tem assolado os países no século XXI. Segundo o pensador, o mundo tem agido contra a democracia por uma espécie de medo que ela pode colocar no cidadão médio o medo de que a democracia seja o regime político por excelência. Rancière afirma que a democracia é o regime do dissenso, e isso tem promovido a cisão da população. É normal que haja discordância dentro de um regime democrático, mas deve haver também respeito mútuo por todas as partes que respeitam a democracia, e deve haver uma tentativa de construir-se um projeto comum com base na discordância. A partir do momento em que setores autoritários não respeitam os seus adversários, tem-se início um processo de ódio contra a democracia que pede o fim dela para que o adversário e a sua posição política sejam eliminados. É daí que surge o anseio pela ditadura. Leia também Quantos golpes de Estado houve no Brasil desde a independência? Democracia no Brasil Como tantas outras coisas no Brasil, a relação entre democracia e política aqui é complicada. Na Primeira República, ou República Velha, tivemos um período provisório comandado por setores militares 1889-1894. Um período em que a chamada política café com leite deu início a um longo conchavo entre líderes de São Paulo e Minas Gerais para a presidência do país. Em 1930, uma chapa liderada por Júlio Prestes, paulista, foi indicada e eleita, porém os políticos mineiros não aceitam a eleição, iniciando a Revolução de 1930, que acabou com a república e iniciou a Era Vargas. Uma característica da Primeira República era o voto de cabresto, em que os coronéis locais mandavam e fiscalizavam as pessoas quando votavam, criando uma fraude que descaracteriza a legitimidade do processo democrático. A democracia só foi restabelecida no Brasil em 1945, e, em 1964, o país viveu outro golpe contra a república brasileira e contra a democracia. Trata-se do golpe civil-militar, que impôs um regime de exceção entre 1964 e 1965, suspendendo direitos civis e a Constituição, impondo a censura contra a imprensa e fechando, em alguns momentos, o Congresso Nacional. Em 1985, a ditadura militar acabou, mas deixou como marca as eleições indiretas para presidente. Houve a prevalência de um grande movimento, iniciado ainda no fim da ditadura, que se chamava Diretas Já! e pedia o estabelecimento de eleições diretas para presidente. Em 1988, aconteceu a Assembleia Constituinte, que criou a Constituição Federal de 1988 e restabeleceu a possibilidade da democracia plena, reforçando direitos e promovendo a igualdade. O respeito a essa democracia, até mesmo por parte de representantes do Legislativo, do Judiciário e do Executivo, e por parte da população civil, ainda é um problema, pois temos visto a violação sistêmica dos valores constitucionais por parte de políticos eleitos pelo povo e por parte do próprio povo. Em meio a altos e baixos, a democracia brasileira segue oscilando. Por Francisco Porfírio Professor de Sociologia